Talenta 56 | Inspirasi Tanpa Batas

Minggu, 28 November 2010

Sumenep, Keindahan di Timur Pulau Madura

Suramadu, Kebanggaan Indonesia
Tito Dipokusumo

http://stat.ks.kidsklik.com/statics/u/stats/chart_85354_2034308428.png
Bagi sebagian besar orang, Madura dikenal sebagai pulau yang tandus, kering dan panas bahkan sebagian mungkin merasa takut untuk pergi ke Madura karena masyarakatnya dikenal bertemperamen keras. Namun, cobalah anda pergi ke Madura, tepatnya ke Kabupaten Sumenep di ujung timur Pulau Madura, maka anda akan mengalami seperti apa yang baru saja saya alami, tipologi tersebut akan terkoreksi dengan sendirinya.
Sumenep merupakan salah satu dari 4 kabupaten yang terdapat di Madura, yaitu Kab. Bangkalan, Kab. Sampang, Kab. Pamekasan dan Kab. Sumenep itu sendiri. Sumenep terletak di ujung timur Pulau Madura dan dikenal sebagai ‘Solo’nya Madura dikarenakan logat penduduk Sumenep yang halus jika dibandingkan dengan logat penduduk di 3 kabupaten lainnya. Sumenep memiliki banyak obyek wisata kunjungan, terutama wisata laut. Ia memiliki banyak gugusan pulau kecil yang masih asri dan perawan. Sumenep juga telah menjadi titik penghubung dari Pulau Madura menuju Pulau Kangean yang juga banyak memiliki pulau-pulau kecil indah, seperti Sabeken.
Perjalanan saya ke Sumenep sebetulnya terjadi secara kebetulan dan mendadak. Awal niatan saya untuk mengunjungi Madura muncul karena ada kesempatan. Pada hari Minggu tanggal 18 Oktober 2009 adalah hari pernikahan sepupu saya di Surabaya, sehingga saya berpikir karena saya bisa cuti dari kantor pada hari Jumat tanggal 16 Oktober 2009, maka ini adalah kesempatan baik untuk mampir ke Madura sebelum menghadiri acara pernikahan sepupu. Niat itu makin menguat mengingat telah didirikannya Jembatan Suramadu yang membuat jarak tempuh dari Surabaya ke Madura menjadi kian singkat.
Kemudian, karena saya sendiri masih belum ‘kenal’ dengan Madura maka 2 hari menjelang keberangkatan saya mulai mencari berbagai informasi mengenai Madura di internet. Setelah menelusuri beberapa situs resmi pemerintah dan beberapa blog orang yang pernah kesana akhirnya saya putuskan untuk pergi ke satu pulau, yaitu Pulau Gililabak di Kabupaten Sumenep karena disana dikenal memiliki wisata taman laut yang indah.
Perjalanan kali ini saya lakukan bersama istri (Maria), adik (Pringgo) dan sepupu (Andar). Total waktu perjalanan dari Bandara Djuanda ke Kab. Sumenep adalah 3,5 jam.
Dalam perjalanan, kami melewati Jembatan Suramadu yang megah dan berdiri kokoh layaknya Jembatan Golden Gate di San Fransisco. Jembatan Suramadu memiliki nilai ekonomis tinggi karena menghubungkan Madura dengan daratan Jawa Timur, tepatnya Surabaya.
Suramadu, pada malam hari

Jika dulu penyebrangan dari Madura ke Surabay harus dilakukan dengan feri selama hampir 2 jam (termasuk prakiraan waktu antri di pelabuhan) maka sekarang hanya dalam 5 menit anda sudah bisa mendaratkan kendaraan anda di Madura berkat Jembatan Suramadu. Menurut saya, Jembatan Suramadu merupakan salah satu karya arsitektur terbaik anak bangsa, bukan karena bentuknya melainkan karena manfaatnya yang saya percaya akan membawa kebaikan bagi masyarakat. Dari beberapa cerita masyarakat sekitar, semenjak didirikannya Jembatan Suramadu, kini banyak masyarakat, baik dari Surabaya maupun luar Surabaya, semakin sering mengunjungi Madura. Hanya saja dikarenakan informasi yang masih sedikit pada umumnya masyarakat yang mengunjungi Madura hanya berkutat di sekitar Jembatan Suramadu, termasuk Kab. Bangkalan. Minimnya informasi mengenai Madura tersebut merupakan tantangan dan permasalahan yang harus dijawab dengan baik oleh pemerintah dan masyarakat sekitar demi memajukan Madura. Pun, saya menyakini, dengan didirikannya Jembatan Suramadu, Madura kini memiliki kesempatan emas untuk meningkatkan perekonomiannya secara signifikan, sekarang tinggal bagaimana pengambil kebijakan dan masyarakat setempat dapat memanfaatkan momentum tersebut secara strategis dan taktis.
Dikarenakan secara geografis Kab. Sumenep terletak di ujung timur Pulau Madura, maka dalam perjalanan kami melewati tiga kabupaten sekaligus di Madura secara berurutan, mulai dari Kab. Bangkalan, Kab. Sampang dan Kab. Pamengkasan. Selama perjalanan dari Kab. Bangkalan ke Kab. Pamengkasan, tanah sekitar terlihat tandus dan kering. Hal ini dikarenakan karena musim hujan merupakan ‘barang langka’ di Pulau Madura sehingga tanah menjadi mudah tandus. Musim hujan umumnya baru dimulai pada awal Desember hingga pertengahan Februari. Inipun, kami rasakan ketika kami harus berjalan di pinggir jalan Madura pada siang hari, cuaca terik dan panas sungguh membuat kami gampang mengalami dehidrasi. Oleh sebab itu, jika anda ingin melakukan perjalanan ke Madura maka alangkah lebih baik anda menyiapkan stok air mineral guna mengantisipasi dehidrasi yang timbul akibat cuacanya yang panas.
Pemandangan berbeda mulai terlihat ketika kami memasuki Kab. Sumenep. Disana tanah terlihat subur karena banyak terdapat tanaman hijau yang ditanam oleh penduduk sekitar. Namun, tetap satu hal yang tidak berubah adalah cuacanya yang panas dan terik.
Pelabuhan Kalianget
Kemudian, sepanjang jalan ke Kab. Sumenep kami menyisir pantai yang gradasi 3 warna lautnya (putih, hijau, biru) membuatnya menjadi pemandangan yang begitu sejuk untuk dilihat. Sesampai di kota, kami langsung memutuskan untuk pergi ke Pelabuhan Kalianget untuk melihat apakah kami memiliki kesempatan untuk menjelajah ke Pulau Gililabak sekarang. Pelabuhan Kalianget terletak sekitar 12 km dari kota di Sumenep dan perjalanan kesana hanya memakan waktu sekitar 15 menit.
Di Pelabuhan Kalianget, kami bertemu penduduk bernama Budi yang banyak membantu kami dalam mendapatkan kapal nelayan setempat yang bisa digunakan untuk menyebrang ke Gililabak. Akan tetapi, dikarenakan kami tiba menjelang senja, maka Budi menyarankan kami untuk melakukan penyebrangan pada esok Subuh agar kami bisa melakukan kegiatan snorkeling yang menjadi tujuan utama kami.
Kamipun mengikuti saran Budi sehingga kami memutuskan untuk kembali ke kota dan menginap di Hotel Utami Semekar. Kami tiba di hotel sekitar pukul 18.00 WIB, dan setelah mandi dan bersih-bersih kami langsung makan sate di pinggir jalan depan hotel. Selama makan di pinggir jalan, kami tidak sekalipun dihampiri oleh pengemis dan pengamen selayaknya di Jakarta sehingga membuat makan malam kami menjadi lebih nikmat jika dibandingkan dengan melakukan hal yang sama di Jakarta. Sesudah perut kenyang, kamipun kembali ke hotel untuk beristirahat. Keesokannya,kami telah berjanji untuk bertemu kembali dengan Budi di Pelabuhan Kalianget pada pukul 4 pagi.

Kami bangun sekitar pukul 3.30 pagi dan dengan sewaan mobil penduduk sekitar kami langsung menuju kembali ke Pelabuhan Kalianget. Di Pelabuhan Kalianget, Budi telah mempersiapkan kapal nelayan yang khusus kami sewa untuk penyebrangan. Yang unik, sekitar pukul 05.00 pagi pemandangan di Sumenep tidak seperti di Jakarta jika dibandingkan pada waktu yang sama. Jika di Jakarta pada pukul 05.00 pagi matahari masih terbenam dan gelap masih menyongsong, tidak demikian halnya dengan Sumenep. Pada pukul yang sama, matahari telah terbit dan warga pesisir terlihat telah bersiap-siap untuk memulai aktifitas.
Penyebrangan dari Sumenep ke Gililabak memakan waktu lebih lama dari yang seharusnya karena kami harus melewati ombak yang bergelombang akibat tiupan angin selatan. Bagi istri saya yang belum terbiasa berada di kapal yang terombang ambing ombak, tentu berada pada situasi demikian sangat mengocok dan memualkan perut. Namun, saya takjub ketika harus melihat sepupu saya Andar yang masih saja tertidur lelap dan ngorok di tengah perjalanan melewati ombak seperti itu.

Pergi memancing
Selama penyebrangan, saya memiliki kesempatan untuk melihat aktivitas penyaringan ikan oleh warga sekitar. Mereka mulai melaut pada pukul 02.00 pagi dan kembali ke daratan pada pukul 12.00 siang. Yang menarik, mereka masih melakukan penyaringan dengan menggunakan tangan secara kolektif dan bukan dengan mesin selayaknya yang banyak dilakukan oleh nelayan di Teluk Jakarta. Menurut Mas Muslim, salah seorang penduduk yang turut mengantarkan kami ke Gililabak, pada sekitar bulan September-November merupakan waktu terbaik untuk mencari ikan karena sedang terdapat banyak-banyaknya ikan. Dari hasil kerja keras nelayan inilah, kebutuhan pangan sebagian besar masyarakat Sumenep dapat terpenuhi. Disamping itu, hasil-hasil tangkapan nelayan ini telah secara rutin dikirimkan ke Pulau Jawa, khususnya Jakarta dan Surabaya. Bahkan, sebagian tangkapan seperti ikan Kakap merah telah diekspor ke berbagai mancanegara. Ikan Kakap Merah merupakan komoditas yang mudah dikonsumsi di Sumenep, tidak seperti di Jakarta dimana kita harus mengeluarkan uang banyak untuk mengkonsumsinya. Menurut Mas Muslim, jika kita ingin mengkonsumsi ikan Kakap Merah yang perlu kita lakukan hanyalah memancing!!.
Akhirnya, setelah melakukan perjalanan selama kurang lebih 2 jam, kami tiba juga di Pulau Gililabak. Aktivitas pertama yang kami lakukan sesampainya disana adalah snorkeling. Aktivitas snorkeling menjadi kian istimewa karena dua hal, pertama cuaca cerah sekali, kedua taman bawah lautnya memiliki terumbu karang yang berwarna warni dengan bermacam jenis ikan. Lucunya, diantara 5 penduduk yang turut mengantarkan kami, hanya 2 orang yang pernah mengunjungi Gililabak sementara 3 orang lainnya, termasuk Budi, mengaku belum pernah sama sekali dan bahkan tahu mengenai Gililabak!!!. Yang menarik dari taman bawah laut di Gililabak adalah terumbu karang yang beraneka warna. Di tengah terumbu karang itu, saya menemukan ikan badut (clown fish) atau lebih dikenal sebagai nemo, salah satu tokoh rekayasa Disney dalam film Finding Nemo. Sayapun memulai untuk mengambil foto-foto underwater dan kami semua terlihat begitu enjoy menikmati kegiatan snorkeling kami. Kemudian, kami mulai berenang menuju daratan dan ketika mendekat ke daratan, pasir di bawah air laut begitu putih sehingga dengan bantuan sorotan sinar matahari membuat air laut tampak berwarna hijau jernih.
Di daratan, kami melakukan sesi foto dengan gaya-gaya yang biasa kami lakukan seperti lari, lompat dan koprol. Disamping itu, kami menikmati pemandangan laut lepas di depan kami dengan gradasi 4 warna sekaligus (putih, hijau, biru, ungu). Kemudian, kami juga menyempatkan diri untuk melihat keadaan sekitar dengan kaki telanjang yang memungkinkan untuk dilakukan karena tidak begitu banyak benda tajam bertebaran. Kami menemukan bahwa Pulau Gililabak hanya dihuni hanya oleh sekitar 10 keluarga secara turun temurun. Penduduk sekitar hampir tidak bisa berbicara dengan bahasa Indonesia, mereka hanya berbicara dengan bahasa Madura. Dengan bantuan Budi untuk berkomunikasi dengan penduduk sekitar, kamipun bisa menikmati sarapan indomie yang lumayan mengganjal perut.

Yang menarik dari Pelabuhan Kalianget termasuk Gililabak, jika anda ingin membeli rokok maka sulit menemukan merk terkenal seperti Sampoerna, Marlboro, Bentoel dan merk terkenal lainnya. Yang ada adalah merk lokal seperti Pundimas. Hal ini menarik perhatian sepupu saya, Andar, ketika ia akhirnya memutuskan untuk membeli rokok Pundimas di Gililabak. Kemudian, dengan gayanya yang lucu ia mulai berpose dengan rokok Pundimas yang seolah-olah bergaya ala pemotretan majalah dan billboard lokal. Masyarakat Madura memang bangga dengan produk rokok lokal mereka, hal ini terlihat di hampir seluruh lapisa masyarakat yang mengkonsumsi rokok merk lokal dibandingkan dengan brand yang telah terkenal selama ini. Menurut Pak Abdullah, seorang penduduk yang mengantarkan kami kembali ke Surabaya, tembakau merupakan produk pertanian unggul yang bisa dihasilkan dari Madura. Namun, karena salah kelola oleh pemerintah setempat akhirnya membuat tembakau Madura menjadi kalah bersaing dengan tembakau dari daerah lain di Indonesia. Kini, harga tembakau Madura lebih dimonopoli oleh tengkulak yang justru banyak merugikan penduduk sekitar.
Setelah sarapan Indomie selesai, kami kembali ke pantai, dan snorkeling untuk terakhir kalinya sebelum kembali ke Pelabuhan Kalianget. Andar dan Maria terlihat lelah sehingga memutuskan untuk tetap berada di kapal, sementara saya dan adik saya Pringgo melakukan snorkeling untuk terakhir kalinya sebelum kembali ke Kalianget. Dalam sesi snorkeling terakhir ini, saya dan Pringgo saling bergantian untuk memotret diri kami yang sedang menyelam mendekati terumbu karang yang berwarna warni.
Sekitar pukul 10.30, akhirnya kami kembali ke Pelabuhan Kalianget dan tiba kembali di Kalianget pada pukul 12.00 WIB. Sesampainya di Kalianget, kami langsung kembali ke hotel dan bersiap-siap untuk kembali ke Surabaya dalam rangka mengikuti prosesi pernikahan sepupu kami.
Kesan saya dalam perjalanan singkat ke Madura, adalah bahwa Madura tidak seburuk seperti anggapan orang pada umumnya. Penduduk sekitar ramah dan meskipun cuaca terasa terik dan panas, namun Madura banyak menawarkan wisata laut yang indah. Setelah Jembatan Suramadu, kini mereka hanya membutuhkan tiga hal untuk dapat ‘ngebut’ perekonomiannya, yaitu bandara, resor/cottage, serta kereta api. Dengan begitu, maka Madura siap untuk menjadi kota wisata yang unggul. Apalagi melihat posisi strategik antara Sumenep, Bali dan Surabaya yang berpotensi membentuk ‘segitiga emas’ pariwisata.
Berwisata ke Sumenep memang tidak cukup dilakukan selama 1 hari, masih terdapat banyak pulau kecil indah yang bisa dikunjungi dan masih asli dan bersih seperti Gililabak. Masih ada Sabeken, Pulau Buah, Pulau Raas dan pulau-pulau kecil lainnya. Itupun belum dihitung bahwa juga terdapat banyak obyek wisata darat yang bisa kita nikmati.
“Sumenep, suatu hari ku kan kembali lagi!! “
Sumber tulisan: http://wisata.kompasiana.com/