Syaiful W. Harahap *)
Belakangan ini selalu disebut-sebut kasus HIV/AIDS ‘menyerang remaja’, terbanyak di kalangan usia produktif, dll. Ini merupakan penafsiran telanjang dari angka laporan kasus kumulatif AIDS, tapi kalau saja angka-angka tsb. diperhatikan maka ada fakta yang luput dari perhatian.
Penyebutan ‘usia produktif’, ‘kalangan remaja’, dll. merupakan konotasi yang bisa membuka banyak penafsiran. Tentu berbeda halnya jika yang diungkapan hanya rentang usia sehingga bermakna denotasi.
Pernyataan-pernyataan yang bersifat konotasi itu pun akhirnya mengesankan hanya remaja yang menjadi ‘rentan’ tertular HIV. Ini menyesatkan karena tidak ada kaitan langsung antara usia dan penularan HIV. Karena ada kesan remaja sebagai kalangan yang rentan, maka berbagai kegiatan pun ditujukan kepada remaja. Padahal, fakta menunjukkan ada 1.970 ibu rumah tangga (baca: istri) yang terdeteksi mengidap HIV. Ibu-ibu ini tertular HIV dari suaminya (laki-laki dewasa).
Kasus HIV dan AIDS banyak terdeteksi di kalangan remaja karena dipicu oleh kasus-kasus yang terdeteksi pada remaja di kalangan penyalahguna narkoba (narkotik dan bahan-bahan berbahaya) dengan jarum suntik secara bersama-sama dengan bergantian.
Berdasarkan data kasus kumulatif AIDS dari Kemenkes RI per Januari 2011 (lihat Tabel 1) kasus AIDS yang terdeteksi di kalangan pengguna narkoba mencapai 42,61 % dari kasus AIDS pada rentang usia 15 – 39 tahun. Maka, hampir separuh angka merupakan ‘sumbangan’ dari kalangan pengguna narkoba. Mereka ini terdeteksi HIV karena wajib menjalani tes HIV jika menjalani rehabilitasi narkoba.
Bandingkan dengan kasus AIDS pada rentang usia 40 – 59 tahun kasus AIDS. Kasus AIDS pada kalangan pengguna narkoba hanya 18,16%, bandingkan dengan kasus AIDS pada kalangan tidak pengguna narkoba yang mencapai 81,84 % (lihat Tabel 2).
Karena faktor risiko (mode of transmission) bukan jarum suntik pada pengguna narkoba maka ada kemungkinan kasus AIDS pada kalangan usia 40 – 59 tertular melalui hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah. Maka, tidak mengherankan kalau kemudian terdeteksi 1.970 ibu rumah tangga yang tertular HIV dari suami mereka.
Kasus HIV dan AIDS tidak banyak terdeteksi pada kalangan di luar pengguna narkoba karena tidak ada mekanisme yang bisa ‘menggiring’ kalangan ini untuk menjalani tes HIV. Akibatnya, mereka tidak menyadari kalau mereka sudah mengidap HIV dan menjadi mata rantai penyebaran HIV secara horizontal.
Kasus AIDS pada perempuan bukan pengguna narkoba suntikan mencapai 89,70% (lihat Tabel 3). Sebagian dari jumlah ini adalah ibu rumah tangga yang tertular HIV dari suaminya.
Sedangkan kasus AIDS pada laki-laki bukan pengguna narkoba suntikan ada 51,66%. Laki-laki inilah yang menjadi mata rantai penyebaran HIV secara horizontal, terutama kepada pasangan seks mereka, seperti istri, pacar, selingkuhan dan pekerja seks komersial (PSK).
Melihat kasus AIDS pada laki-laki bukan pengguna narkoba suntikan maka perlu digalakkan sosialisasi kondom. Kalau kondom mendorong laki-laki dewasa berzina tentulah kasus AIDS di kalangan ibu rumah tangga bukan pengguna narkoba suntikan tidak ada karena mereka terhindar dari HIV. Tapi, kenyataan menunjukkan ada 1.970 ibu rumah tangga yang terdeteksi mengidap HIV. Ini menunjukkan suami mereka tidak memakai kondom ketika melakukan hubungan seksual di dalam dan di luar nikah dengan perempuan lain.
Jika laki-laki ‘hidung belang’ enggan memakai kondom pada hubungan seksual dengan perempuan lain secara berganti-ganti atau yang sering berganti-ganti pasangan, maka pakailah kondom jika sanggama dengan istri.
Cara yang ditempuh Malaysia yaitu menerapkan survailans tes HIV melalui skrining rutin kepada perempuan hamil merupakan langkah konkret untuk mendeteksi kasus HIV pada perempuan hamil. Sedangkan survailans terhadap laki-laki dilakukan terhadap pasien IMS (infeksi menular seksual) yaitu penyakit-penyakit yang ditularkan melalui hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah, dari seseorang yang mengidap IMS kepada orang lain, seperti sifilis, GO, klamidia, hepatitis B, dll., pengguna narkoba suntikan, polisi, narapidana, darah donor dan pasien TB.
Dalam perda-perda AIDS yang ada di Indonesia ada pasal tentang program pencegahan penularan HIV dari-ibu-ke-bayi yang dikandungnya. Celakanya, dalam perda tsb. tidak ada pasal yang menjelaskan cara yang konkret untuk mendeteksi HIV di kalangan perempuan hamil.
Belakangan ini penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia dilakukan di hilir yaitu menunggu kasus HIV/AIDS terdeteksi. Ini merupakan tuntutan dari donor asing yang menjadi tulang punggung penyumbang dana penanggulangan AIDS di Indonesia yang dikabarkan lebih dari 70%.
Akibatnya, penanggulangan di hulu diabaikan. Ini mendorong insiden kasus penularan HIV baru. Ini artinya pemerintah hanya menunggu orang tertular (dulu) baru ditangani. ***
*) Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS
Sumber; http://edukasi.kompasiana.com/