Massa yang membawa berbagai senjata tajam menyerang secara brutal. Tiga tewas.
VIVAnews - Tiga warga Ahmadiyah tewas mengenaskan setelah bentrok dengan warga Kampung Umbulan, Desa Dalung, Kecamatan Cikeusik, Kabupaten Pandeglang, Banten. Enam lainnya terluka parah di sekujur tubuh.
Juru Bicara Ahmadiyah, Zafrullah A. Pontoh, menjelaskan satu hari sebelum penyerangan, seorang warga Ahmadiyah, Suparman, sempat dibawa petugas Polres Pandeglang. "Alasannya ingin meminta keterangan Suparman terkait status imigrasi istrinya yang warga negara Filipina," kata Zafrullah di Kantor YLBHI, Jakarta, Senin, 7 Februari 2011.
Saat itu, Suparman ditemani sejumlah warga Ahmadiyah. Sebagian lain, menjaga rumahnya.
Sehari setelah Suparman dibawa ke Markas Polres Pandeglang, Zafrullah melanjutkan, 18 warga Ahmadiyah yang mayoritas terdiri dari orang tua dan anak-anak, datang ke rumah Suparman pada pukul 08.00 WIB. Mereka berasal dari Jakarta dan Cikeusik.
Saat itu, enam petugas polisi dari reserse kriminal mendatangi rumah Suparman. Sekitar pukul 09.00, jumlah polisi semakin banyak. "Mereka terlihat makan-makan dan mengobrol di sekitar lokasi," Zafrullah menjelaskan.
Menurutnya, ketika itu sempat terjadi dialog antara polisi dan warga Ahmadiyah. "Polisi meminta mereka (warga Ahmadiyah) meninggalkan lokasi dan tidak melawan jika diserang. Namun, permintaan itu (meninggalkan lokasi) ditolak warga Ahmadiyah," kata Zafrullah.
Usai berdialog, polisi meninggalkan lokasi setelah salah seorang anggotanya menerima telepon dari seseorang. Tak jelas siapa. Sejak saat itu, tidak ada dialog lagi antara aparat dan jemaah Ahmadiyah. Di rumah Suparman, masih berkumpul 21 warga Ahmadiyah.
Sekitar pukul 10.00, tiba-tiba datang sejumlah massa dari arah utara. Mereka berteriak sambil mengacungkan golok dan senjata tajam lainnya.
Juru Bicara Ahmadiyah, Zafrullah A. Pontoh, menjelaskan satu hari sebelum penyerangan, seorang warga Ahmadiyah, Suparman, sempat dibawa petugas Polres Pandeglang. "Alasannya ingin meminta keterangan Suparman terkait status imigrasi istrinya yang warga negara Filipina," kata Zafrullah di Kantor YLBHI, Jakarta, Senin, 7 Februari 2011.
Saat itu, Suparman ditemani sejumlah warga Ahmadiyah. Sebagian lain, menjaga rumahnya.
Sehari setelah Suparman dibawa ke Markas Polres Pandeglang, Zafrullah melanjutkan, 18 warga Ahmadiyah yang mayoritas terdiri dari orang tua dan anak-anak, datang ke rumah Suparman pada pukul 08.00 WIB. Mereka berasal dari Jakarta dan Cikeusik.
Saat itu, enam petugas polisi dari reserse kriminal mendatangi rumah Suparman. Sekitar pukul 09.00, jumlah polisi semakin banyak. "Mereka terlihat makan-makan dan mengobrol di sekitar lokasi," Zafrullah menjelaskan.
Menurutnya, ketika itu sempat terjadi dialog antara polisi dan warga Ahmadiyah. "Polisi meminta mereka (warga Ahmadiyah) meninggalkan lokasi dan tidak melawan jika diserang. Namun, permintaan itu (meninggalkan lokasi) ditolak warga Ahmadiyah," kata Zafrullah.
Usai berdialog, polisi meninggalkan lokasi setelah salah seorang anggotanya menerima telepon dari seseorang. Tak jelas siapa. Sejak saat itu, tidak ada dialog lagi antara aparat dan jemaah Ahmadiyah. Di rumah Suparman, masih berkumpul 21 warga Ahmadiyah.
Sekitar pukul 10.00, tiba-tiba datang sejumlah massa dari arah utara. Mereka berteriak sambil mengacungkan golok dan senjata tajam lainnya.
"Ahmadiyah hanguskan! Ahmadiyah bubarkan! Polisi menyingkir, kami yang berkuasa!!!" Zafrullah menirukan teriakan beringas para penyerang. "Polisi yang ada di sekitar lokasi hanya mendiamkan saja saat penyerang mendekati rumah Parman."
Saat itu pula, warga Ahmadiyah yang ada di dalam rumah langsung keluar. "Massa sempat mundur saat warga Ahmadiyah keluar. Namun, saat itu pula datang gelombang massa dari arah belakang. Intensitas serangan massa kepada warga Ahmadiyah menjadi semakin memuncak. Saat itu ada sekitar 1.500 orang yang menyerang," Zafrullah menerangkan.
Massa yang membawa berbagai senjata tajam seperti golok, pedang, dan tombak, menyerang secara brutal. "Mereka mengejar warga Ahmadiyah. Yang tertangkap ditelanjangi, kemudian dipukuli secara brutal beramai-ramai," kata Zafrullah. "Batu juga digunakan untuk memukuli korban hingga tewas."
Saat itu ada empat warga Ahmadiyah yang sempat tertangkap. Namun, satu orang berhasil kabur dari kepungan massa, meski kemudian menderita luka sangat parah. "Tiga warga Ahmadiyah tewas di lokasi," jelasnya. Mereka adalah Roni (34 tahun, dari Jakarta Utara), Adi Mulyadi (24, warga Cikeusik), dan Tarno (33, warga Cikeusik).
Saat itu pula, warga Ahmadiyah yang ada di dalam rumah langsung keluar. "Massa sempat mundur saat warga Ahmadiyah keluar. Namun, saat itu pula datang gelombang massa dari arah belakang. Intensitas serangan massa kepada warga Ahmadiyah menjadi semakin memuncak. Saat itu ada sekitar 1.500 orang yang menyerang," Zafrullah menerangkan.
Massa yang membawa berbagai senjata tajam seperti golok, pedang, dan tombak, menyerang secara brutal. "Mereka mengejar warga Ahmadiyah. Yang tertangkap ditelanjangi, kemudian dipukuli secara brutal beramai-ramai," kata Zafrullah. "Batu juga digunakan untuk memukuli korban hingga tewas."
Saat itu ada empat warga Ahmadiyah yang sempat tertangkap. Namun, satu orang berhasil kabur dari kepungan massa, meski kemudian menderita luka sangat parah. "Tiga warga Ahmadiyah tewas di lokasi," jelasnya. Mereka adalah Roni (34 tahun, dari Jakarta Utara), Adi Mulyadi (24, warga Cikeusik), dan Tarno (33, warga Cikeusik).
Sejumlah warga Ahmadiyah lain terluka parah disabet senjata tajam. "Sebagian tubuh mereka penuh dengan sayatan golok, wajah rusak, dan luka lebam," kata Zafrullah. (umi)