Talenta 56 | Inspirasi Tanpa Batas

Selasa, 07 Desember 2010

Indonesia dalam Politik Globalisasi

Rene L Pattiradjawane

Dalam wawancara dengan The Jakarta Post akhir pekan lalu, Menlu Marty Natalegawa menjabarkan perspektif politik luar negeri Indonesia dalam konteks KTT Asia Timur yang akan diselenggarakan bulan Oktober mendatang di Hanoi, Vietnam. Perspektif politik luar negeri Indonesia disampaikan sebagai pandangan untuk menerima Rusia dan AS sebagai anggota EAS.
Sejak pertama kali diselenggarakan di Kuala Lumpur, Malaysia, tahun 2005, tidak banyak perubahan signifikan yang mampu dihasilkan KTT Asia Timur (EAS) karena masih mencari bentuk-bentuk ideal. Eksistensi EAS sekarang ini masih mencari pola di tengah upaya Jepang menghadirkan struktur Komunitas Asia Timur (EAC) dan Australia berkeinginan membentuk Uni Asia Pasifik (Asia Pacific Union).
Regionalisme dan multilateralisme di kawasan Asia Pasifik sekarang ini memiliki banyak bentuk selain ASEAN yang menjadi pilar utama kerja sama regional. Ada desakan memperluas EAS agar menjadi lebih komprehensif tanpa harus melalui mekanisme peletakan fondasi acquis communautaire (pengaturan dan hukum yang dibutuhkan komunitas) seperti yang dimiliki Uni Eropa.
Menlu Natalegawa menempatkan perspektif politik luar negeri dan kepentingan nasional Indonesia dalam apa yang disebutnya dynamic equilibrium (keseimbangan dinamis), di mana tidak ada kekuatan dominan tunggal di kawasan dan berbagai negara berinteraksi secara damai dan menguntungkan.
Perdamaian dingin
Rumusan dynamic equilibrium dalam konteks global setara dengan disequilibrium, ketika runtuhnya Tembok Berlin dan berakhirnya Perang Dingin tidak serta-merta menempatkan AS sebagai satu-satunya kekuatan tunggal secara global.
Kita ingin memaknai dynamic equilibrium sebagi Doktrin Natalegawa, sebagai bagian dan antisipasi dinamika perubahan global yang secara ekonomi mengalami resesi yang berkepanjangan, dan secara politik internasional mengubah keseluruhan tatanan dan persepsi global kita di kawasan Asia Timur dalam konteks geografis kekuatan-kekuatan ekonomi, perdagangan, politik, dan sosial budaya yang sama sekali berbeda dengan masa Perang Dingin.
Doktrin Natalegawa harus dipahami sebagai sebuah situasi Perdamaian Dingin (Cold Peace), di mana kekuatan lama sisa Perang Dingin seperti AS masih menghadirkan eksistensi kekuatan militernya di Semenanjung Korea dan Jepang sebagai antisipasi memburuknya perilaku Korea Utara, sedangkan di sisi lain China dan India adalah kenyataan baru sebagai kekuatan dominan di kawasan ini.
Esensi mendasar dari Doktrin Natalegawa ini adalah situasi Perdamaian Dingin di Asia Timur lebih condong karena terjadinya perubahan pandangan dan pendekatan (rapprochement) hubungan-hubungan yang tadinya dianggap akan menjadi sumber instabilitas, sekarang bergerak sebaliknya, mencari pijakan baru tanpa menuju ke sebuah konflik terbuka.
Esensi lainnya adalah karena munculnya ancaman-ancaman kekerasan baru yang asimetris, seperti terorisme, epidemi seperti flu burung, bencana alam, dan lain sebagainya, mengharuskan berbagai negara besar dan kecil di kawasan Asia Timur melakukan kerja sama yang lebih komprehensif, serta perlunya alokasi berbagai sumber daya, dana, material, dan personel secara terpadu.
Walaupun China dan India secara pasti menjadi kekuatan dominan di kawasan Asia Pasifik, potensi kekuatannya sampai sekarang terfokus pada perluasan ekonomi dan perdagangan, serta memperluas wilayah pengaruh melampaui batas-batas aktivitas tradisionalnya.
Terobosan
Doktrin Natalegawa harus ditempatkan sebagai pelepasan (disengagement) kekuatan-kekuatan militer asing di kawasan Asia Pasifik, terutama kehadiran militer AS di Semenanjung Korea dan Jepang sebagai itikad meninggalkan pola penjejakan kolonialisasi sisa Perang Dingin, dan percaya bahwa titik-titik konflik di Asia Timur tidak akan menguntungkan siapa pun.
Kondisi ini disadari sepenuhnya oleh China sebagai kekuatan dominan dan secara sadar condong memproyeksi kebijakan politik konsentris menempatkan keseluruhan geografis Asia dalam lingkup wilayah pengaruh Sinosentris. Ini antara lain menjelaskan pendekatan dan perundingan antara Partai Nasionalis China (Kuomintang) di Taiwan dan para penguasa di Beijing, meniadakan terjadinya kemungkinan konflik terbuka di Selat Taiwan.
Doktrin Natalegawa ingin kita tempatkan sebagai perluasan visi mendiang Presiden Abdurrahman Wahid yang menggagas politik geostrategi Indonesia dalam bentuk aliansi G-5 yang melibatkan kerja sama ekonomi, keuangan, dan teknologi antara Indonesia, India, China, Jepang, dan Singapura, diseleraskan melalui mekanisme EAS.
Doktrin Natalegawa adalah sebuah kerangka kerja sama strategis yang mengakomodasi berbagai kepentingan kekuatan dominan seperti China, Jepang, dan India maupun kekuatan luar kawasan seperti Rusia dan AS. Doktrin ini lebih bersifat multilateral mewujudkan, misalnya transportasi multilateral menghubungkan Singapura-Vladivostok melalui Kunming di Provinsi Yunnan.
Doktrin Natalegawa adalah sebuah konsep keterpaduan dan ketergantungan yang saling menguntungkan pembangunan dan perkembangan negara-negara Asia. Doktrin ini merupakan sebuah terobosan status quo yang tidak lagi mengandalkan perlombaan senjata dan membangun kekuatan militer, apalagi kekuatan laut biru seperti kebangkitan Inggris abad ke-19.
Pengurangan anggaran militer dari GDP masing-masing negara di kawasan Asia Timur maupun negara luar kawasan akan memberikan arti dan kontribusi lebih besar pada mekanisme kerja sama multilateral terfokus pada persoalan mengembangkan dan membangun kerja sama ekonomi, perdagangan, dan keuangan.
Doktrin Natalegawa adalah pengejawantahan menyeluruh mengakhiri hegemonisme sisa Perang Dingin, mencari modalitas kerja sama yang saling menguntungkan. Salah satu pengejawantahan yang sekarang terasa mendesak adalah kebutuhan untuk mewujudkan mata uang Asia sebagai alat tukar ekonomi dan perdagangan, tidak lagi mengandalkan dollar AS atau euro yang rentan terhadap perubahan situasi global.
Doktrin Natalegawa harus menjadi landasan penting membedakan kebangkitan negara-negara Asia berdasarkan asas kesetaraan dan menjadikan kemajemukan Asia Timur dan negara luar kawasan sebagai kemanunggalan baru menghadapi persoalan global.
Ketika ekonomi kapitalis dimengerti dan direplikasi di mana-mana di kawasan ini, Doktrin Natalegawa harus memberikan makna sebagai upaya global melakukan komersialisasi ekonomi dan perdagangan internasional bagi kesejahteraan bersama.
Upaya ini penting tidak hanya untuk mengatasi resesi yang berdampak sangat luas, tapi sekaligus sebagai pendamping penting kebangkitan kekuatan-kekuatan dominan baru di kawasan. 

Sumber akses: http://irenkdesign.wordpress.com