Talenta 56 | Inspirasi Tanpa Batas

Selasa, 07 Desember 2010

Pemilihan Umum di Indonesia dan Perjuangan untuk Demokrasi

Tetapi, untuk semua yang telah beserta dalam perjuangan untuk hak-hak demokratis selama 12 bulan yang lalu, itu adalah sangat penting untuk mempelajari secara kritis hal-hal politik yang mendasari situasi ini dan bahaya-bahaya yang sangat nyata yang menghadapi kaum pekerja. Penurunan Suharto secara paksa merupakan pukulan politik yang besar terhadap kaum penguasa, baik di Indonesia maupun di dunia, yang selama tiga dekade terakhir ini menggunakan kekuasaan Suharto untuk mengamankan kepentingan-kepentingan strategis dan ekonomis mereka di dalam negara yang memiliki jumlah penduduk nomor empat terbesar di dunia dan di Asia Tenggara.
Setelah penggulingannya, pemilu ini sedang digunakan untuk mengesahkan rejim yang didukung oleh ABRI itu, dan untuk melindungi struktur negara yang telah tergoyah dengan keras untuk menghadapi perjuangan-perjuangan kelas yang akan datang. Pemilu ini telah digambarkan secara meluas di media massa sebagai pemilu demokratis yang pertama di Indonesia sejak tahun 1955. Tetapi, ciri anti-demokratisnya tampak secara jelas dalam fakta bahwa garis-garis pedoman untuk pemilu ini dan komposisi parlemen yang akan dibentuk setelah itu diciptakan oleh MPR dan DPR -dua badan yang penuh dengan orang-orang pilihan Suharto, jendral-jendral ABRI, politisi-politisi Golkar, usahawan-usahawan dan pejabat-pejabat pemerintah.
ABRI akan menunjuk 38 anggota dalam DPR baru yang beranggotakan 500 orang, dan bersama dengan 200 anggota dari tingkat provinsi dan daerah akan membentuk sepertiga dari MPR, yang akan memilih presiden dan wakil presiden di bulan November. Di bawah UUD 1945, MPR dan DPR mempunyai kekuasaan terbatas. Presiden yang tidak dipilih dalam pemilu, sebaliknya, mempunyai kekuasaan yang luas untuk mengangkat dan memecat kabinet dan menteri-menteri, dan untuk melangkahi parlemen dengan mengeluarkan keputusan presiden.
Jendral-jendral ABRI, yang telah terlibat dalam penindasan dan pertumpahan darah selama beberapa dekade, tetap mempunyai pengaruh yang besar dalam kabinet Habibie yang sekarang, memegang posisi-posisi penting seperti pertahanan dan keamanan, kementerian dalam negeri dan kementerian penerangan. Tambahan pula, ABRI telah menggunakan ledakan pemberontakan-pemberontakan berdasarkan ras dan agama di Ambon, Kalimantan Barat, Jawa dan di tempat-tempat lainnya untuk melebarkan struktur kepemimpinannya, memperkuat kekuasaannya dan merekrut 40,000 anggota-anggota sipil bersenjata untuk menambah kekuatannya yang sudah cukup besar.
Frustrasi dan kemarahan para pelajar, pekerja dan sektor-sektor kelas menengah, yang telah menumpuk, muak dengan puluhan tahun pemerintahan yang angkuh dan terpukul berat karena runtuhnya ekonomi, meluap dalam bentuk aksi-aksi mogok menentang pemutusan hubungan kerja, keadaan di tempat kerja yang makin memburuk dan harga-harga yang melangit, dan protes-protes yang militan oleh para pelajar, para cendekiawan dan lainnya yang menuntut pemecatan Suharto dan reform-reform demokratis.
Hasil-hasil dari pemilu bebas dan terbuka yang pertama di tahun 1955 secara sepihak dinyatakan tidak sah oleh Sukarno dan lebih dari itu dua tahun setelah itu ia membubarkan parlemen dan konstituante yang terpilih. Atas dasar UUD 1945, sebuah dokumen yang ditulis di bawah pengawasan Jepang di masa perang, Sukarno memulai apa yang disebut Demokrasi Terpimpin—sebuah istilah yang menggambarkan kekuasaannya secara pribadi dengan bantuan jendral-jendral militer, pejabat-pejabat negara dan pemimpin-pemimpin politik yang tak terpilih, termasuk anggota-anggota PKI yang Stalinis.

Sumber akses : http://id.shvoong.com/