![]() |
Foto: Google |
LO-lo-lo-lo-lo-looooo-koooooo-ei!!! Teriakan semacam itu pasti terdengar dalam setiap upacara "menjemput'' tamu yang datang ke permukiman suku Dayak, khususnya mereka yang masih tinggal di udik-udik atau tengah hutan. Teriakan ini sebagai penghormatan danrasa suka cita mereka kepada tamunya, terlebih-lebih pejabat tinggi yang datang dari jauh. Bahkan sebelum naik ke darat, tamu akan disambut perahu Dayak yang dihiasi aneka macam ukiran, bulu burung, serta nyanyian dan tarian.
Tarian dan nyanyian itu dilakukan di atas perahu, sambil mengelilingi perahu pejabat tadi sebanyaktujuh kali.Lalu secara bersama-sama mereka meneriakkan:
"Lo-lo-lo-lo-looooo-loooo-koooo-ei!!!''. Sambutan dan nyanyian tersebut punya maksud, agar tamu-tamu mereka selamat dalam perjalanan sampai pulang ke rumah.
Tips Bertemu
Ada beberapa tips bagi tamu yang berkunjung ke permukiman suku Dayak, agar tak mendapatkan kesulitan selama berada di sana. Misalnya, tamu harus tenang dalam menghadapi nyanyian dan tarian yang hiruk-pikuk tersebut. Jangan membuat ulah yang dapat mengganggu jalannya upacara penyambutan.Begitu sampai di tepian, jangan langsung naik ke tangga, tetapi tunggu sampai ada perintah dari kepala adat (demang) yang bersama Mantir Basara (anggota adat) akan menyambut tamunya. Para tamu nantinya akan disebari beras kuning, atau diberi minyak enyoh bulan (kelapa yang kulitnya kuning).
![]() |
Foto: Google |
"Bila tamu yang datang orang penting, tidak jarang mereka ditandu sampai di depan tangga rumah. Di tempat itu, tamu harus berdiri di depan kayu penghalang yang sengaja dipasang oleh tuan rumah secara berlapis,'' kata warga Dayak yang tinggal di Semarang.
Sebelum masuk gerbang, tamu harus memotong kayu penghalang itu secara berturut - turut dengan mandau -senjata khas suku Dayak.
Pemotongan kayu itu diiringi tetabuhan gong, yang dalam bahasa mereka disebut rantong. Di situ sekaligus diadakan tanya-jawab, untuk mengetahui maksud kunjungan si tamu. Begitu pintu gerbang dibuka, gadis-gadis manis akan menari sambil mengalunkan nyanyian puji-pujian. Mereka juga membawa beras, sayur-sayuran, telur, ikan dan sebagainya. Sebagai ucapan terima kasih, tamu harus menundukkan kepala. Selanjutnya, kepala adat akan datang dan menyerahkan tuak (dalam tanduk kerbau atau sapi) kepada tamu. Ingat, jangan sampai menolak, minumlah meskipun hanya sedikit. Setelah itu, tamu penting tadi didudukkan di atas gong, lalu diolesi darah ayam atau sapi oleh kepala adat.Menurut adat setempat, tamu yang diolesi darah hewan menunjukkan penghormatan besar dan tertinggi dari suku Dayak. Tamu agung dan terhormat bukan hanya mendapat hadiah seperti beras, sayuran, telur dan sebagainya, melainkan juga mandau atau sumpitan sebagai kenang-kenangan. Barang-barang itu juga harus diterima, jangan menolak.
Ketika menerima tanda kenang-kenangan, jangan lantas ganti memberi uang, sebab ini diartikan sebagai penghinaan. Berikan saja rokok, garam, atau tembakau, kepada mereka. Jika bentuknya uang, berilah lain waktu. Pokoknya jangan sampai bersamaan dengan pemberian mereka. Arak -yang dalam bahasa mereka disebut baram atau danum tewun- sering juga diberikan kepada tamu terhormat. Itu juga jangan ditolak, minumlah sedikit, walau tidak suka. Apabila tangan tamu ditarik untuk diajak menari, ya maulah... walau tidak bisa menarri.
![]() |
Foto: Google |
Soal Makan
Selama di permukinan suku Dayak, keamanan tamu akan dijaga betul-betul. Bila tamunya beragama Islam akan diberi ayam hidup, beras, telur, sayuran, dan lain-lain, untuk dimasak sendiri oleh tamunya. Bila tamunya Kristen atau agama Dayak Kahariang, makanan yang disuguhkan akan dimasak orang Dayak sendiri. Mengapa bila tamunya orang yang beragama Islam harus masak sendiri, karena mereka sangat menghormati. Maksudnya agar makanan tersebut bebas dari barang yang diharamkan orang Islam misalnya babi dan sebagainya. Pada saatnya makan, tanpa diminta tuan rumah akan menyediakan makan. Makanlah dengan lahap. Jangan nyimik - nyimik. Nanti dikira masakannya tidak enak atau tidak suka. Orang Dayak sangat puas bila tamunya makan dengan lahap, apalagi bila masakannya dihabiskan tamunya.
Adat Gadis
"Lain lubuk lain belalang'' juga berlaku bagi suku Dayak dalam memperlakukan gadis-gadisnya. Tetapi ini hanya berlaku di daerah pedalaman atau udik-udik saja. Mereka yang sudah mengenyam hidup di kota atau berpendidikan tinggi akan menyesuaikan diri. Ada beberapa ketentuan menghadapi gadis-gadis Dayak. Antara lain dilarang bercakap dengan mereka di tempat tersembunyi. Bila ketahuan, lelaki itu akan dihukum denda oleh pengadilan adat. Saat lelaki berjalan dan ketemu gadis yang tak dikenal, dilarang memperhatikan apalagi memelototkan mata. Kalau ketahuan saudara laki-laki gadis, kita bisa dihukum adat. Kalau mau bertamu dan masuk ke rumah Dayak, sejak dari luar harus bertanya dulu: "Apakah ada orang di rumah?. Kalau dijawab, "Ada'', maka harus bertanya lagi: " Bolehkah masuk?''.Bila diperbolehkan masuk, tamu harus bertanya sekali lagi: "Apakah ada laki-laki di dalam rumah?''.
Nah, kalau ternyata di dalam rumah tidak ada lelaki, lebih baik mengurungkan niat masuk rumah tersebut. Kalau tamu datang lagi ke rumah itu, maka harus memberitahu kepada laki-laki ada di situ, bahwa dia tadi sudah bertandang tapi urung masuk. Ini adat yang harus dipenuhi para tamu. Jangan gegabah, sebab bila tidak tahu aturan bisa dianggap menghina atau akan berbuat yang tidak semestinya terhadap penghuni rumah yang bersangkutan.Anda juga harus hati-hati selama berada di dalam rumah Dayak, khususnya ketika ada gadis yang lewat atau sedang menyuguhkan makanan. Jangan coba-coba membuat membuat gerakan atau suara yang dapat diartikan mengganggu wanita tadi. Salah-salah Anda bisa diusir.
Mempermainkan gadis atau wanita Dayak dianggap sebagai perbuatan yang hina dan jahat di mata lelaki setempat. Karena itu, kalau kebetulan lewat di jalan di mana banyak wanita Dayak di situ, Anda harus minta izin dulu dari wanita tua di antara mereka. Jadi tidak asal lewat, apalagi sambil suit-suit atau bersiul.
Suku Dayak memang sangat ketat menjaga gadis-gadisnya dari gangguan orang luar. Tradisi tersebut tetap dipertahankan sampai sekarang, terutama mereka yang masih tinggal di daerah pedalaman. Tetapi bagi para gadis Dayak yang lama berada di kota, atau jauh dari kampung halaman, tradisi tersebut mulai longgar, sesuai dengan perkembangan masyarakat setempat. (Mas Soesiswo-48)
Sumber : http://www.hamline.edu/