Raperda Gepeng dan Anak Jalanan yang sempat ditentang oleh gepeng dan anak jalanan yang didampingi sejumlah LSM di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) 2008 silam kini kembali mencuat kembali ke permukaan. Raperda Gepeng dan Anak Jalanan ini sebenarnya sempat dihimpun bersama-sama dengan LSM dan stakeholder lain yang memiliki perhatian terhadap anak jalanan di tahun 2008. Namun belum juga menemui titik temu. Raperda ini sendiri dimaksudkan untuk menangani permasalahan gepeng dan anjal di DIY. Namun berbagai kalangan menilai raperda tersebut bersifat represif dan bertentangan dengan hak asasi manusia.
Raperda yang digagas sejak 2007 ini kembali digodog oleh biro hukum dan ditargetkan disahkan menjadi Perda pada tahun 2011. Kepala Dinas Sosial DIY, Sulistyo, mengatakan bahwa Perda itu juga mengatur soal peran dan kewenangan masing-masing instansi di DIY dalam penanganan anak jalanan secara rinci (tvone.co.id, 9/6/10).
![]() |
Foto : Google |
Hak-hak Anak Jalanan
Anak jalanan merupakan kelompok anak yang sering mendapatkan perlakuan yang salah, baik oleh masyarakat maupun negara. Selama ini program-program penanganan anak jalanan tidak melihat sisi hak-hak anak yang juga melekat dalam diri anak jalanan. Razia-razia yang dilakukan oleh petugas secara nyata melanggar hak anak untuk mendapatkan perlindungan dari tindak kekerasan.
Ya, kebijakan yang ada untuk menangani anak jalanan tidak lepas dari sudut pandang yang tidak berpihak terhadap hak anak. Adanya diskriminasi dan marginalisasi anak jalanan semakin menjauhkan mereka dari hak-hak yang semestinya didapatkannya. Padahal keberadaan anak di jalanan dikarenakan tidak terpenuhinya hak-hak mereka selama berada di ranah domestik. Adanya Kekerasan Dalam Keluarga (KDRT) yang menjadi salah satu penyebab anak turun ke jalan menunjukkan tidak diterimanya hak perlindungan dari tindak kekerasan (UU No. 23 th 2002 Pasl 4). Beberapa anak harus berada di jalan karena keadaan ekonomi keluarga juga menunjukkan kegagalan dalam pemenuhan hak asuh yang ideal untuk keadaan anak (UU No. 23 th 2002 Pasl 7 ayat 2).
Solusi
Beberapa kota besar seperti Jakarta, Medan, dan Surabaya sebenarnya telah memberlakukan perda semacam ini. Namun belum ada bukti kongkrit dari efektivitas perda tersebut. Seyogyanya DIY tidak mencontoh kegagalan beberapa kota tersebut, akan tetapi mengambil sebuah pelajaran berharga dari kegagalan yang pernah ada.
Beberapa langkah yang bisa dijadikan acuan adalah: Pertama, identifikasi kasus sebab anak turun ke jalan karena perbedaan motif anak turun ke jalan memerlukan pendekatan penanganan yang berbeda pula. Selama ini penanganan anak jalanan bersifat kasuistik dan represif. Razia anak jalanan contohnya. Identifikasi kasus ini akan memberikan gambaran yang nyata tentang penyebab anak turun ke jalan sehingga upaya yang dilakukan ke depannya adalah langkah preventif. Pemenuhan hak-hak anak saat masih berada di ranah domestik tentu akan mencegah dan mengurangi anak turun ke jalan.
Kedua, sudut pandang yang dipakai tidak bertentangan dengan hak-hak anak yang dimiliki anak jalanan. Undang-undang No 23 tahun 2002 dan juga naskah PNBAI 2015 tentu tidak boleh disisihkan dalam pembuatan kebijakan penanganan anak jalanan. Sebuah penyelewengan besar jika sebuah perda bertentangan dengan undang-undang yang telah ada.
Ketiga, butuh kejelasan siapa berbuat apa. Pemerintah seharusnya memberikan ruang yang luas bagi stakeholder lain seperti LSM, tokoh, juga Komunitas Anak Jalanan untuk turut aktif dalam merumuskan dan pada proses implementasi kebijakan. Dengan tidak bersifat partisipatoris maka negara akan memposisikan diri sebagai pihak yang benar dan rakyat sebagai pihak yang salah. Akibatnya segala kebijakan publik hanya akan merenggut hak-hak warga negara.
Peringatan Hari Anak Nasional pada tanggal 23 Juli seyogyanya mampu dijadikan sebuah langkah yang tepat untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak, terutama dalam artikel ini adalah anak jalanan. Karena anak jalanan juga bagian dari generasi penerus bangsa yang berdiri dalam posisi kerawanan. Jika hak mereka tidak diberikan kerawanan itu akan semakin rawan. Penulis berharap momen Hari Anak Nasional dijadikan satu pijakan untuk memenuhi hak-hak anak. Penyusunan Perda Anak Jalanan semestinya lebih menitik beratkan pada upaya pemenuhan hak anak jalanan bukan menyingkirkan mereka.
Sumber akses : http://arrosyadi.wordpress.com/