Terlalu banyak kata-kata untuk menghindari seks. Ini karena
perbedaan kadar libido, hormon, jender, tuntutan pekerjaan, mengurus
anak dsb. Padahal alasan sebenarnya hanya satu, yakni Anda atau pasangan
pada dasarnya tidak memiliki gairah seks.
Kehidupan seperti ini dari awal memang bukan untuk mendapatkan letupan
bercinta, namun ingin bersama dengan pasangan dalam arti sebenarnya.
Pada saat gairah meredup tidak mudah untuk menyampaikannya ke pasangan
karena pasti menghancurkan perasaan dan hubungan. Beban kehidupan
sehari-harilah yang lalu menjadi kambing hitam. “Frekuensi seksual
biasanya mencerminkan kisah hidup pasangan itu,” kata Dr David Schnarch,
konsultan seks dari ThirdAge.
Selama bertahun-tahun praktek, dapat
disimpulkan bahwa seseorang menikahi pasangannya karena dialah yang
mampu ‘menghisap’ kehidupannya. Atau apabila seseorang mempunyai rasa
cinta amat kental, lalu menikah dengan orang yang tidak dapat meletakaan
seks dan cinta pada tempat sama, maka kondisinya seperti terjebak pada
lingkaran tak berujung.
Untuk menjabarkan situasi tersebut, dapat
diibaratkan seperti anak-anak dari keluarga alkoholik yang dipaksa
mempunyai resep menelan kekecewaan, karena mengharapkan orangtua
membantu pekerjaan sekolah. Ini bisa menghilangkan rasa lapar dan
keinginan duduk lima menit di pangkuan orangtuanya. Memiliki keinginan
saja sudah menimbulkan rasa sakit.
Dari waktu ke waktu, anak harus
belajar untuk menghilangkan keinginan. Situasi itulah yang dihadapi
pasangan menikah yang tidak memiliki gairah seks. Kehidupan seksual yang
sehat dalam jangka panjang tidak akan diperoleh dari orang yang takut
diabaikan, atau mereka yang selalu menuntut pasangan selalu siap siaga
untuk dirinya. Hubungan yang sehat membutuhkan kerja keras berdua dan
sebanding dengan hasilnya. Seks yang baik menjadi penyubur hubungan yang
sehat, kuat, dan seperti yang diinginkan berdua
http://nurfahmi.wordpress.com/2008/06/19/frekuensi-seks-adalah-cermin-hidup/