Talenta 56 | Inspirasi Tanpa Batas

Senin, 06 Desember 2010

Berawal dari Hilangnya Rasa Kebersamaan

….nusa bangsa
….dan bahasa
….kita bela “bersama”.
.

….”kita bela bersama”….itulah salah satu kutipan dari syair lagu nasional kita yang berjudul Satu Nusa Satu Bangsa. Tentunya, kita sudah tidak asing lagi dengan lagu tersebut. Ya, saya pun sejak duduk disekolah dasar hingga sekolah menengah atas, setiap hari senin terkadang menyanyikan lagu tersebut saat upacara bendera. Esensi lagu tersebut ialah sebuah wujud dari konsensus kita bersama—seluruh warga negara Indonesia. Untuk bersama-sama dalam membela nusa bangsa, bahasa, dan segala apa yang ada di naungan Garuda Pancasila. Tapi, ketika akhirnya saya harus menghujamkan pandangan kekehidupan sehari-hari, kondisi Indonesia kini, rasanya lagu hanyalah lagu, tiada efeknya. Sedih dan sakit rasanya hati ini jika terus memandang kondisi bangsa saat ini, hingga pada akhirnya sesekali—atau bahkan sering. Saya mengarahkan pandangan kelangit nan luas.
.
.
.
Saya sangat prihatin atas kehidupan berbangsa di negeri ini yang semakin meminggirkan kebersamaan. Banyak gejala dalam masyarakat yang menampakkan bagaimana sebuah bangsa yang menyebut secara eksplisit keadilan sosial dalam ideologi Pancasila-nya, seolah tak menghiraukan lagi istilah kebaikan bersama.
.
Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia
(Pancasila, Sila Kelima)
.
.
dalam kesempatan ini, saya tidak bermaksud mengkritisi pemerintah secara khusus, disini saya lebih menekankan kepada kita—warga masyarakat Indonesia. Bagi pemerintah tentunya, pelaksanaan sila kelima dalam Pancasila ialah suatu kewajiban yang mesti diupayakan pelaksanaannya. Dan kita sebagai rakyat juga wajib mengawasi jalannya roda pemerintahan.
.
.
.
Dan kali ini
Saya mengajak seluruh kita sebagai warga negara Indonesia untuk instropeksi diri. Sejenak kita lupakan pemerintahan! Dimuka sudah saya sampaikan bahwa saat ini rasa atau sense kebersamaan sebagai suatu bangsa yang harus saling membantu, bahu-membahu antar sesama sudah mulai hilang—bisa jadi pula memang sudah hilang. Misalnya, Korupsi disegala lini kehidupan masyarakat adalah contoh telanjang tiadanya rasa kebersamaan berbangsa itu. Marilah kita coba melihat kedalam diri kita masing-masing, masihkan kita sebagai sebuah bagian dari bangsa mengutamakan kepentingan umum? Ataukah kepentingan pribadi jauh berbobot? Tidak usah terlalu jauh, kita lihat dalam keluarga sebagai pembentuk masyarakat. Apakah seorang ayah, ibu, anak, mementingkan keadilan bersama atau hanya sebagai keadilan bagi pribadinya masing-masing. Misalnya, kita sebagai anak dalam sebuah keluarga memiliki beberapa saudara kandung, pernahkah kita mempertimbangkan mereka saudara-saudara kita dalam hal memutuskan sesuatu agar hasilnya dapat atau setidaknya menyenangkan hati bersama. Bagi saya pribadi, menciptakan keadilan dan rasa kebersamaan dalam keluarga itu memang tidak mudah. Tapi, yakinlah jika kita sudah memulai dari diri kita sendiri, dan dari institusi terkecil—keluarga. Niscaya diluar kita pun akan lebih mementingkan rasa kebersamaan, tentunya dalam hal kebaikan.
.
.
.
Segala bentuk upaya pemerintah untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, bagi saya akan sia-sia belaka, jikalau masyarakatnya sendiri sudah atau sengaja menghilangkan rasa kebersamaan—erat kaitannya dengan sila ketiga, persatuan Indonesia. Mari, kita bantu Pemerintah, mewujudkan persatuan yang utuh. Jikapun pemerintah melenceng, jika kita bersatu padu secara utuh, niscaya dalam hal perlawanan—jika mengharuskan demikian. Kita akan berhasil. Mulailah, untuk mempertimbangkan nilai-nilai kebersamaan, agar lebih kita utamakan.
.
.
Misalnya,
Dalam kita berkendaraan, janganlah kita ugal-ugalan, serempet sana serempet sini, tidak memakai sarana pengaman standar, tidak taat aturan lalu lintas, itu sudah menunjukkan bahwa Anda pengendara yang sudah kehilangan rasa kebersamaan. Jalan itu milik bersama, dan ketertiban itu lebih utama. Saya semakin prihatin jika harus pergi kekota besar, para pengendara banyak yang tidak taat lalulintas, hingga jika saya lihat, polisi lalulintas pun terkesan cuek. Apakah seperti ini budaya masyarakat Indonesia, yang katanya, ramah-ramah, baik hati, dan sebagainya. Atau itu semua kini hanyalah jargon-jargon penuh kebohongan, sebagaimana pernah terjadi di era orde baru. Banyak jargon-jargon soal Pancasila, ternyata realisasi dari jargon tersebut tidak ada. Misalnya lagi,  sekarang ini banyak masyarakat menyuarakan selogan bersama dan bermaksud mengajak supaya “Anti Korupsi”. Jika saya harus katakan, selogan “Anti Korupsi” bukan untuk kita katakan kepada orang lain—bukannya tidak boleh. Tapi untuk ditanamkan dalam sanubari yang paling dalam dari diri kita sendiri, untuk Anti Korupsi disegala lini kehidupan yang kita jalani. Sifat korup sejatinya bibitnya itu ada dalam diri manusia, tapi kembali lagi kepada kita, apakah kita merawat dan menyirami bibit nista tersebut atau tidak. Segeralah kita mulai menjadi pribadi yang menjadi bahan cerita  inspirasi atau teladan baik bagi sesama.
.
.
.
Mari coba kita renungi kata-kata yang berbunyi : “Jangan tanya apa yang Negera berikan padamu, tapi tanyalah apa yang sudah kamu berikan pada Negera”. Sudah tugas Negara memberikan yang terbaik bagi rakyatnya, tapi pernah terpikirkah sekarang ini, bahwa kita sebagai rakyat juga bertugas memberikan yang terbaik bagi Negara. Semuanya itu, satu kesatuan. Dan segala bentuk kebobrokan, kemiskinan, pengangguran, dan belum selesainya segudang permasalahan yang memekakan telinga. Ialah berawal dari hilangnya rasa kebersamaan, baik dalam tatatan keluarga, masyarakat, bangsa, dan negara.
.
….nusa bangsa
….dan bahasa
….kita bela “bersama”
 
Akses : http://degoblog.wordpress.com/