Talenta 56 | Inspirasi Tanpa Batas

Selasa, 18 Januari 2011

Adu tanduk Warisan Ki Ronggo


Ribuan pasang mata terpaku ke sudut arena. Pintu anyaman bambu terkuak. Kraaak. Seekor sapi jantan gemuk, putih dengan beringasnya masuk ke arena. Bagai atlet yang melakukan pemanasan terlebih dahulu sebelum hendak bertanding, sapi berlari-lari kecil mengitari lapangan. Maka, debu pun mengepul. Sementara itu, dari sudut yang lain mucul seekor sapi hitam, sama besar dan tegap, merunduk-runduk memasuki lapangan.
Tiga orang lelaki memegangi leher sapi yang beringas itu dengan susah payah. Beberapa orang bersulempang hijau melemparkan tali ke leher sapi putih yang tampak jinak tadi Hupp ... sapi pun digiring ke tengah lapangan. Sementara itu, sapi hitam tetap menampakkan nyalang matanya, dan terus dipegangi erat oleh ketiga lelaki yang berselempang merah. "Babak berikutnya.... si pelor melawan si rudal," begitu teriak seorang pria bertubuh kekar dengan mata sipit di anjungan, lewat corong pengeras. Dan, "ngok . . . ngok . . . ngok . . . ngok," tambahnya lagi, menirukan suara sapi. Sesudah kedua kepala sapi dipertemukan, priiiit ... pluit pun melengking. Sapi dilepaskan, baku tumbuk, baku hunjam tanduk. Sorak sorai penonton meledak. Arena ingar-bingar. Ya, itulah adu sapi yang selalu ada di Bondowoso -- Jawa Timur -- setiap tahun. * * *
Foto: Google
Matahari ketika itu baru saja tersembul dari balik puncak Gunung Ijen, di ufuk timur, medio Agustus, menjelang peringatan Hari Proklamasi. Tetapi kesibukan di sekeliling arena sudah terdengar sejak ayam mulai berkokok. Suara orang lalu lalang berbaur dengan lenguh sapi. Mereka yang ikut pesta adu sapi ini memang bermalam bersama jago-jagonya. Maklum, penyelenggara, dan memang sudah demikianlah tradisinya, hanya menyediakan "losmen" bagi sapi-sapi yang siap bertanding. Gratis. Penginapan sapi itu berupa gubuk-gubuk dari ilalang, terletak di sekeliling arena. Inilah pesta rakyat yang senantiasa dinanti-nanti.
Tahun ini hanya diselenggarakan di Desa Kademangan, dalam Kota Bondowoso. Dahulu, pesta berpindah-pindah dari desa satu ke desa lainnya, sebelum dibangun stadion permanen, bersebelahan dengan pasar sapi di Kademangan itu. Namanya saja yang permanen, sementara tribun dan pagar penonton tetap terbuat dari bambu. Kini istilah adu sapi diperhalus jadi "Kontes Sapi", diselenggarakan oleh Pemda Kabupaten Bondowoso. Kali ini adu sapi diselenggarakan pada akhir Juni lalu, sampai Oktober mendatang. Setiap pekan diadakan dua kali: Sabtu dan Minggu. Pihak Pemda menyerahkan pelaksanaannya kepada seorang promotor. Memang mirip penyelenggaraan sebuah pertandingan tinju. * *
Pertarungan kedua ekor sapi rupanya cukup seru. "Ya . .. ya . . . ini dia si rudal, hook-nya berbahaya. Hayo gasak terus sampai ka-o," kata Hendra alias Poo Tiong, pembawa acara, sekaligus bertindak selaku juri tunggal dan dialah promotor itu. Ia telah berpengalaman lebih dari 10 tahun memimpin baku hantam antar sapi ini. Di anjungan itu ia selalu menyelipkan humor di antara komentarnya. Dalam acara yang penuh ketegangan, hal-hal yang mencairkan suasana tampaknya diperlukan. Kadang-kadang lelucon Hendra keterlaluan -- bagi yang terkena. "Wah, wah, wah . . . sapi kayak begini kok diadu di sini, enakan disembelih saja, lantas dimakan dagingnya," ini contoh komentar Hendra, bila sapi-sapi yang beradu tampak kurang terlatih.
Menyaksikan sapi-sapi bertarung memang mendatangkan semacam keasyikan tersendiri. Hewan yang selama ini kita makan dagingnya, kita suruh menarik bajak atau gerobak, ternyata mempunyai taktik bertarung bak seorang petinju profesional. Tak jarang, di arena yang seluas separo lapangan sepak bola, kedua sapi hanya menempelkan tanduk masing-masing, berlama-lama. Atau jago-jago bertanduk itu cuma saling mencium ekor. Ada pula misalnya, seekor sapi lalu menunggangi lawannya, mirip adegan sapi kawin. Kalau sudah begini, lapangan jadi riuh rendah penuh suit-suit dan tawa penonton.
Tetapi kalau terus-menerus sapi-sapi yang muncul ke gelanggang ternyata hanya menyuguhkan adegan "damai", penonton pun bisa protes. Serempak mereka akan berteriak histeris. Siapa lagi sasaran mereka bila bukan panitia, ya, Hendra dan kawan-kawan di anjungan itulah. "Ayo pekkeluar se-begus (Ayo keluarkan sapi yang bagus)," pinta penonton. Sapi-sapi itu, ah, tentu saja mereka mendengar protes penonton. Tapi, sayang, tak memahami maksudnya. Untunglah, dalam pertandingan antara si Rudal dan si Pelor, pertengahan Agustus lalu, penonton merasa puas.
Kedua sapi sama-sama tangguh. "Tahun lalu keduanya sama-sama meraih kemenangan," tutur Hendra kepada TEMPO. Sekitar 3.000 penonton hari itu matanya tertuju pada kedua sapi favorit, yang telah membuktikan ketangguhannya tahun lalu itu. Suara corong tak lagi main-main, seperti sebelumnya. Pada klimaks pertandingan antara kedua jago favorit, juri harus lebih serius. "Kalau tidak, penonton akan marah. Bisa barabe nantinya," ujar Hendra, pengarah acara dan sekaligus juri itu.
Demikianlah pengalaman juri sapi itu di tahun-tahun sebelumnya. Oleh karena itu, penjagaan polisi kini semakin ketat. Ada larangan membawa senjata tajam. Bahkan para pengunjung yang dicurigai langsung diperiksa. Banyak pula polisi yang tak berseragam, menyamar sebagai pengunjung umum berpakaian tradisional Madura. Dengan baju dan celana pendek komprang berwarna hitam, kaus bergaris-garis merah putih, dan odeng, ikat kepala khas pulau garam ala Pak Sakerah.
Tahun ini, sampai awal September, alhamdulillah, tak ada penonton yang kedapatan membawa senjata tajam. Dan yang penting pula, dalam lima tahun terakhir, tak ada yang terlibat carok. Biasanya, mereka yang beringas dan lupa diri itu, yang selalu kalah totoan, judi. Pelor akhirnya dinyatakan menang. Rudal, meski nama ini gagah, mengambil nama jenis senjata mutakhir, "peluru kendali", harus kalah. "Nama itu saya tiru dari siaran TVRI," ujar pemilik sapi yang kalah itu.
Wajahnya tampak sedih, sementara seler (orang-orang berselempang) alias suporter si pelor berguling-guling di arena bergalau dengan debu dan (mungkin) kotoran sapi, merayakan kemenangan. Para seler ini dielu-elukan panitia. Tiba-tiba terdengar suara gamelan membawakan gending-gending nada sukaria. Lho, dari mana asal suara gendang dan gamelan? Wah, cukup sukar juga dilihat. Mata penonton menyapu ke sana kemari, mencari. Ketika seorang tandak (penari wanita) mengendap-endap keluar, ah, ternyata rombongan tetabuhan berada di kolong bawah anjungan. Yang disebut rombongan gamelan ini membawa cymbal, kecrek, dan gong besar. Mereka itu dikontrak panitia selama diselenggarakannya adu sapi.
Tandak mengelu-elukan yang menang, membawakan kidung (lagu) kemenangan. Sementara itu, Pelor diberi selempang bermotif benang keemasan. Pemilik sapi yang menang tak bisa membendung kegembiraannya: entah berapa ribu rupiah (bukan dolar, tentu) yang dimasukkannya ke celah kutang tandak yang terus saja menari dan menembang. Seler ikut menari-nari di tengah lapangan, sambil sesekali membanting-banting kopiahnya ke arena. Menang taruhan, siapa yang tak senang. Edan.
Bagi Kepala Daerah Bondowoso, pertunjukan adu sapi adalah salah satu kegiatan untuk menaikkan pendapatan desa. "Retribusi parkir dan sewa tanah aduan kami serahkan perangkat desa. Sehingga uangnya untuk kepentingan desa itu sendiri," kata Bupati. Itu dulu, ketika lokasi pertunjukan masih berpindah-pindah dari desa ke desa. Setelah ditetapkan arena baku-tanduk diselenggarakan di dalam Kota Bondowoso, tahun lalu pihak Kabupaten mendapat pemasukan Rp 40 juta. Berapa tahun ini, pihak Pemda belum mengungkapkannya. Pihak promosi, Hendra itu, tahun lalu mengaku menginvestasikan modal sekitar Rp 10 juta. "Saya tak pernah rugi.
Karena segalanya sudah saya perhitungkan," kata lelaki sipit yang sudah turun-temurun gemar adu sapi itu. Tapi berapa besar untungnya. para penonton dan sapi-sapi mungkin tak peduli. Hendra sendiri, yang di Jember (tempat tinggalnya dikenal sebagai kontraktor, memang cukup kaya. tinggal di kawasan elite. Tampaknya ia memang berbakat menyelenggarakan adu hewan. Selain sapi ia pun penggemar burung, dan dari kegemarannya yang lain ini pun Hendra mencetak uang pula Sebelum musim adu sapi, biasanya ia mengadakan lomba burung. * * *
Ada sepuluh aturan dalam adu sapi. Kini aturan itu ditulis, diperbanyak dengan fotocopy, kemudian dibagi-bagikan kepada para peserta. Antara lain. aturan itu memastikan perlunya gendhing (mencari lawan) di tengah gelanggang. "Ini terutama buat peserta yang belum menemukan lawan. Di arena mereka bisa mencari lawan yang cocok," ujar Hendra, ayah empat anak itu. Baku-tanduk antara dua sapi ditetapkan satu jam setiap ronde. Dan seekor sapi hanya diperbolehkan bertanding sekali dalam seminggu.
Jika minggu ini sapi menang, maka minggu berikutnya pemiliknya boleh mencarikan lawan lagi. Kekalahan seekor sapi diukur bukan dari banyaknya darah mengucur atau tanduk yang patah. Melainkan, sapi yang lari sembari nungging alias ekornya mengibas-ngibas ke atas, itulah yang dinyatakan kalah. Ngossss ... ngosssss . . ngrossss, babak berikutnya, si Mawar melawan si Tambur.
Kedua sapi bertingkah sebelum aba-aba juri dimulai. Para seler, biarpun sudah terbiasa dengan sapi-sapi beringas, kali ini tampak lebih waspada. Ada pengaman buat para seler, tangga-tangga bambu yang menempel di sekeliling pagar. Kalau sapi menyeruduk, seler bisa mengamankan diri, lari ke tangga. Aba-aba diberikan, kedua sapi mulai baku hantam. Mawar dan Tambur ternyata tergolong gendhing (= seimbang rupanya kata gendhing yang punya banyak arti). Saling seruduk, saling hunjam. Tes-tes-tes-testestes . . . darah segar mengucur dari kening Tambur yang berkulit putih itu. Karenanya, warna merah segar terlihat dengan jelas. Matanya semakin nyalang.
Mawar semakin waspada. Para seler maju mundur mengikuti ke arah mana saja kedua sapi bergerak. Iramanya bisa pelan, bisa cepat. Sejurus kemudian, kedua sapi tiba-tiba bergerak dengan cepat. Debu beterbangan. Arena bagai diselimuti kabut pagi, sapi dan para seler bagaikan bayangan yang bergerak-gerak. Dan persis satu jam, Tambur keok, lari terbirit-birit. Para seler naik ke tangga penyelamatan. Tang tung tang tung, ning nong ning dong .... Suara gamelan kembali meriah, menyambut kemenangan Mawar.
Corong kembali ramai. "Si Mawar saya beri nama Ellyas Pical," ujar Hendra Jaya, yang sekaligus mengumumkan Mawar sebagai juara umum. Sementara itu, di sudut lain, kelompok berselempang merah berwajah muram. Mereka mewakili sebuah kesedihan: kekalahan yang baru ditelannya. Tiba-tiba salah seorang di antara mereka mengacung-acungkan tangannya yang berlumuran darah. Ada imbauan dari corong: "Yang tangannya luka harap ke pos kesehatan." Laki-laki kekar dengan pakaian Pak Sakerah itu menuju ke pos. Ia rupanya tergores tanduk Tambur, tak sempat menghindar ketika sapi yang dijagoinya lari menghindari lawannya. Untung, cuma tangan yang kena. * * *
Adu sapi di Bondowoso melibat banyak peternak dan pedagang sapi. Bagi pemenang, tak saja mereka berhak mengantungi piagam panitia, melainkan pula, harga sapi-sapi mereka bakal lebih mahal. Sebaliknya yang kalah, pasarannya menurun. Arena adu sapi memang menjadi semacam bursa, sejak dulu. Si Mawar, jago tahun ini yang berbobot lebih dari 4 kuintal, langsung ada yang menawar: ditukar dengan sebuah Colt Station L 300. Si empunya menolak. "Biar sampai mati, dia akan tetap saya pelihara, ini maskot saya," ujar Sunyoto, penggemar adu sapi turun-temurun dari Desa Sekarputih, Bondowoso.
"Saya hobi adu sapi, bukan pedagang sapi yang mengharap harga sapi naik," kata pengusaha tembakau yang memiliki beberapa sapi aduan ini. Sejak mendiang ayahnya, Liu Lin namanya, keluarga ini memelihara sapi. Hewan-hewan itu tidak dibiarkan agar merumput sebagaimana laiknya. Melainkan ditempatkan di sebuah kamar khusus, berlantai bambu sedemikian rupa hingga kotoran sapi mudah terbuang melalui celah-celah yang sengaja dibuat. Sementara itu, si sapi menganggur di kamar, sampai tiba masa pertandingan. Seekor sapi favorit seperti si Mawar boleh menerima perlakuan khusus -- laiknya seorang juara. Lihat saja: rumput buat Mawar disuguhkan dalam piring istimewa berbentuk bagai mangkuk. Air minum selalu siap di sebelahnya.
Kamar sapi itu tidak terkesan sebagai kandang sama sekali. Ruangan bekas spen yang letaknya di belakang rumah gadang Sunyoto itu, mirip kamar biasa artinya kamar buat manusia. "Beginilah kalau orang sudah gila sapi piaraan," kata ayah empat anak itu tersenyum-senyum. Cuma, bau kamar Mawar memang seketika mengabarkan siapa penghuni di sini. Seorang pria setengah baya berada di kamar si Mawar.
Ia duduk di sebuah balai-balai sembari melinting rokok dari tembakau yang tersedia satu tas plastik di depannya. Dialah pawang si Mawar. Kamarnya di sebelah ruangan si sapi, dan ukurannya lebih kecil daripada kamar si Mawar. Di sini agaknya sapi lebih dihargai. Atau, ukuran kamar semata dihitung berbanding lurus dengan besar tubuh penghuninya? Wah. Di ruangan bertembok itu tak jarang penuh berlepotan kotoran sapi, berwarna hijau, dengan bau yang khas.
Meski selalu dibuat rapi, senantiasa si Mawar suka acak-acakan. Maklum, ia tetap sapi meski juara. Dan semuanya itu masih ditambah dengan kunjungan dokter hewan untuk menjaga kesehatan Mawar. "Sedikitnya setiap bulan saya mengeluarkan belanja Rp 100 ribu untuk si Mawar," kata Sunyoto yang sedang tergila-gila pada maskotnya itu. Entah, pawang yang tidur di kamar sebelah, berapa gajinya. "Sampai mati, Mawar akan saya pelihara," tambahnya. Pemilik sapi aduan yang memperlakukan jagonya seperti Sunyoto banyak. Jangan salah tangkap. Mereka bukannya memuja sapi sebagaimana orang India melakukannya. Namun, lantaran hobi yang berlebih-lebihan, dan bahkan sudah turun-temurun, hewan itu lalu dimanjakan. Bagi pemilik yang cintanya terhadap sapi hanya sebatas uang, sapi-sapi juara bisa seharga sebuah mobll atau rumah. * * *
Sesungguhnya sapi aduan adalah jenis sapi biasa, seperti brahman. Atau, hasil silang sapi Australia, yang biasa dibeli oleh penggemar dari Sumba. Jenis lain yang diadu adalah sapi Bali yang banyak terdapat di pasaran. Biasanya sapi aduan dipelihara sejak kecil (pedet). Sejak usia tiga atau empat bulan hewan berkaki empat yang lagi lucu-lucunya itu dilatih. Setiap hari anak sapi itu dibawa naik turun bukit. "Itu melatih ketahanan tubuhnya," kata Asmari, pemilik sapi adu dari Desa Wonosari.
 Menjelang dewasa, latihan ditingkatkan. Tanduk mulai diperuncing. Jamu-jamu khusus, yang biasa diminum orang, juga dicekokkan kepada sapi. "Dua bulan sebelum pertandingan, setiap hari dua butir telur saya berikan," tutur Asmari yang punya empat ekor sapi adu jenis brahman. Bila ada perbedaan dengan para juara baku hantam di kalangan manusia, sapi-sapi itu tak bisa membeli dan mengupas telur sendiri. Biaya pemeliharaan seekor sapi aduan, dengan begitu memang bisa begitu mahal. Apalagi dalam beberapa hari menjelang masuk arena.
Telur dan ramu-ramuan yang diberikan bisa berlipat ganda. Bagi penggemar yang tak mampu, barang-barang rumah tangga bisa dilego untuk menutup biaya hidup sapi. Kadang-kadang terkesan, para penggemar adu sapi itu lebih mementingkan sapinya daripada anak. Inilah tradisi yang sudah mengakar, yang bisa dianggap aneh oleh yang tak memahaminya. Bukan cerita baru, demi kemenangan sapi miliknya, mereka mendatangi dukun atau pergi ke makam-makam keramat. Bahkan seorang pemilik sapi dari Situbondo, mengaku telah bersilaturahmi mengunjungi K.H. As'ad Syamsul Arifin di pondok Sukorejo, untuk mendapatkan restu.
Di Bondowoso, makam Ki Ronggo-lah yang ramai dikunjungi para penggemar sapi aduan. Ada yang sampai bermalam di sana, menunggu wangsit. Yang bermoral kurang kuat, lalu bermain kasar: menggunakan guna-guna untuk melumpuhkan sapi lain. Karena itu, penjagaan sapi-sapi tangguh menjelang pertandingan, dilakukan secara ekstraketat. Seekor sapi bisa dijaga 5 sampai-10 orang lelaki. Jangan coba-coba mendekat, bila Anda tak mereka kenal. Kecurigaan gampang timbul. Dan bila demikian, percekcokan mudah tersulut. Dulu, carok sering terjadi menjelang pertandingan. Sebab, sering terjadi, sapi-sapi yang tatkala dilatih tangguh tetapi ketika di arena hanya diam saja, hingga sapi lawan bisa dengan mudah melumpuhkannya. Sapi-sapi yang pasif ini dipercayai telah terkena guna-guna. Peserta adu sapi, selain membawa seler, sekaligus ia juga membawa dukun untuk menghindarkan kecelakaan serupa itu. * * *
Hingga menjelang pertarungan, ada saja cara guna menambah keberingasan dan semangat tempur sapi. Minuman keras acap kali diberikan kepada sapi beberapa menit sebelum turun gelanggang. Rupanya, sapi teler semangat tempurnya diyakini lebih optimal. Bukan bahan minuman keras, disediakan terung merat (ini jenis terung khusus yang membuat sapi mabuk). Juga madu dan jamu-jamu yang ramuannya dirahasiakan. Satu lagi, para pemilik juga berbekal sambal. Ya, sambal dapur, bukan bagian dari bekal nasi, tapi ramuan pedas itu untuk dioleskan ke sekujur pantat dan, ini memang benar, kemaluan sapi.
Kadang-kadang juga dibubuhkan ke telinga dan mata yang hendak diadu. Bayangkan saja betapa panasnya. Pantas jika sebelum bertanding sapi-sapi bertingkah seperti kena setrum. Dan ini pula sebabnya, bila kemudian adu sapi yang tak menanduk lawannya, melainkan menungganginya dari belakang. Sadistis? "Tidak, kerapan sapi jauh lebih sadistis. Sapi-sapi kerapan pantatnya ditusuk-tusuk paku sampai lecet supaya lari lebih kencang," kata Sunyoto, membandingkan adu sapi dengan kerapan sapi di Madura. Sesuai dengan perkembangan, promotor adu sapi kini pun lebih menggarap manajemen. Hendra itu umpamanya, selain juga menghimpunkan modal dari rekan-rekannya, ia pun punya perhitungan soal untung-rugi.
Ini bila dibandingkan dengan Swan Bing, promotor adu sapi angkatan lama yang sudah pensiun. Penggemar sapi ini, konon, tak pernah membuat kalkulasi pembiayaan. Karena itu, ia pun tak pernah membuat studi kelayakan seperti yang dilakukan oleh Hendra. "Setiap pengeluaran saya perhitungkan," katanya. Ia mengaku tak pernah rugi. Adalah berkat dukungannya pula adu sapi di Bondowoso tak sepi dari sponsor -- suatu hal yang dulu tak terpikirkan oleh Swan Bing.
Tahun lalu, misalnya, rokok Gudang Garam Kediri menjadi sponsor utama. Dan memang, arena adu sapi, sejak dulu jadi salah satu tempat perputaran uang. Tahun ini tak kurang dari 300 pedagang dari berbagai tempat tumpleg bleg ke arena adu sapi. Mulai pedagang ikan basah dari kota pantai Besuki, sampai para penjaja mainan anak-anak, beberapa hari sebelum adu sapi dua hari itu diselenggarakan, sudah berkumpul di sekitar gelanggang. Dan, jangan lupa, bila adu sapi ramai sejak dulu, perputaran uang secara klasik memang ambil bagian judi.
Dekat dengan judi, bisa ditebak, adalah munculnya wanita penjaja seks. Berlindung di keremangan warung-warung yang berderet di sana, mereka membuka transaksi sendiri. Konon, para wanita itu datang dari berbagai kompleks lokalisasi di berbagai kota. Di warung-warung makanan itulah transaksi seks berlangsung. "Seorang yang menang judi, sekadar merayu pelacur saja memberi uang," ujar seorang pemilik warung yang ketiban komisi. Dia bukan germo, tapi mengaku sebagai penampung saja. Memang, di tiap akhir pertandingan, setelah pemenang diumumkan, pemandangan seperti ini tak aneh lagi: sejumlah pelacur merengek-rengek merayu mereka yang sapinya menang. Atau, mereka yang menang taruhan. Dan mungkin ini sudah menjadi rumus dunia, uang yang diperoleh dengan mudah, perginya pun gampang.
Para petaruh itu dengan hati ringan menghabiskan uang kemenangan judi seperti tanpa pikir. Mereka minum-minum sepanjang malam, mabuk-mabukan bersama para penjaja seks -- yang sudah tentu malam itu menaikkan tarif. Kencan dilaksanakan di tenda-tenda warung di sekeliling arena. Para pedagang makanan tak kurang luwesnya merayu penonton. "Mereka yang menang biasanya tak sayang mengeluarkan uang," kata seorang penjual buah-buahan. Sekilo buah jeruk yang di kota umumnya Rp 1.000, di sini bisa dua kali lipat. Ada yang mencoba menduga, sirkulasi uang di setiap akhir periode tak kurang dari Rp 100 juta.
Tapi ini bukan Porkas, yang bisa dihitung dari kupon yang laku. Namun, judi tanpa catatan administrasi, yang tentu saja sulit dihitung berapa omsetnya. Uang masuk ke panitia itu sendiri cukup besar. Harga karcis masuk Rp 3.000 per orang, sementara daya tampung arena sekitar 3.000 orang, dan boleh dikata penuh selalu. Bagi yang bertanding, uang pendaftaran Rp 1.000 per ekor sapi. Pada setiap pertunjukan bisa dipertarungkan kira-kira 50 pasang sapi. Pada malam hari, arena adu sapi berubah menjadi pasar malam. Saat inilah kesempatan, terutama bagi yang menang taruhan, untuk berfoya-foya. "Karena dapatnya haram harus ke haram," ujar Marba'i yang sapinya menang. "Jangan sampai uang panas ini masuk ke rumah tangga saya," kata ayah lima anak ini.
Di malam medio Agustus lalu itu, lelaki asal Asembagus itu tampak dikerumuni wanita-wanita bergincu, di dalam warung remang-remang. "Dulu mereka ini memakai jarit, kini tampaknya sudah modern. Kabbih pakai rok," kata Marba'i, 50-an. Kabbih artinya semua, dan "dulu" maksudnya ketika ia masih muda, 30-an tahun yang lalu. Di sudut lain malam itu tampak laki-bini rebahan di dekat sapi. Mereka berdua tampak santai-santai berdekatan dengan rumput dan kotoran sapi, tak peduli pada bau yang tak sedap. Yang lelaki ternyata tidur, mungkin kecapekan.
Dunia sapi dan dunia manusia bertemu di sini. Di lingkungan yang kumuh itu pula tampak seorang lelaki tua menghitung-hitung sisa uangnya. Menang, Pak? "Wah, wah, wah . . . kali ini sengkok sial. Kalah," katanya dengan nada suara lantang tapi serak. Setua ini, si embah tadi mengaku tidak pernah absen menonton adu sapi. Bukan semuanya sapi yang saling menanduk yang membuatnya selalu hadir. Tapi, ya, itu tadi, judinya. "Untuk apa datang ke arena adu sapi kalau bukan untuk taruhan," katanya. "Kalau cuma adu sapi, di desa sudah sering ada, tapi tanpa taruhan," sahut seorang lelaki lain, yang berada di dekat situ. Dan memang itulah, judi, yang menjadi daya tarik utama tontonan ini. Seorang yang telah lama terlibat dengan judi aduan sapi mengatakan, lebih dari 90%, katanya, penonton datang untuk pasang taruhan.
Di pintu masuk boleh ada tertulis larangan berjudi. Polisi boleh berkeliaran -- baik berseragam maupun yang menyamar. Toh, taruhan berlangsung secara terang-terangan. Konon, ada pihak yang mendapat komisi dari uang haram itu. "Setiap taruhan besar atau kecil terkena semacam retribusi sebesar 10%," ujar seorang sumber di arena adu sapi. "Asor . . . asor . . . apet . . . apet . . . ," begitu suara riuh rendah penonton.
Istilah ini khas dalam adu sapi. Maksudnya, yang menjagoi sapi-sapi favorit harus membayar dua kali lipat pada lawan taruhannya bila kalah. Sebaliknya, bila pemegang sapi favorit menang, ia hanya berhak mendapatkan pembayaran separuh transaksi. Sedangkan untuk sapi-sapi yang sama ampuh, para penjudi menawarkan transaksi paddhe alias sama. Ingar-bingar itu bagaikan suara kawanan lebah. Itulah suara mereka yang mencari lawan taruhan, ketika sapi-sapi mulai masuk ke tengah arena. Beberapa penjudi kawakan, umumnya WNI Cina, tampak bertindak sebagai bandar.
Membawa puluhan juta rupiah, dan beberapa orangnya -- mungkin tukang pukul -- mereka seperti mengail ikan di gelanggang ini, dan selalu berhasil. Konon, bandar-bandar ini tak pernah mengeluh karena kalah. Penjudi-penjudi kelas teri, boleh dikata mereka cuma seperti membakar uangnya sendiri. Kalah melulu. Mereka agaknya kalah pengalaman. Kalau suasana perjudian sudah panas, penjudi-penjudi kelas teri tak segan-segan menjual barang apa saja yang kebetulan mereka bawa.
Di sana, sebagaimana biasa, sudah siap pembeli-pembeli yang tampak pada mafhum: penjudi-penjudi kalap akan menjual barangnya secara murah. Misalnya sebuah arloji yang di toko berharga Rp 50 ribu, di sini bisa berpindah tangan hanya dengan Rp 10 ribu. Dan celakanya, uang arloji itu pun dalam beberapa menit akan amblas. Siapa, sih, yang jadi kaya karena judi, kata orang-orang tua. Pasaran judi kelas kakap berkisar antara Rp 10 ribu dan Rp 100 ribu. "Tapi ada pula yang bertaruh sampai Rp 1 juta sekali pertandingan," kata seorang penonton. Itu yang kelas tinggi. Yang ukuran teri, taruhan berkisar antara Rp 500 dan Rp 10 ribu.
Dalam dua dasawarsa ini penyelenggaraan adu sapi selalu diawali pro dan kontra. Di forum DPRD tingkat II Bondowoso, kubu Fraksi PPP selalu menentang adu sapi. Sebaliknya, fraksi-fraksi ABRI dan Golkar mendukung. Atas dasar itu kemudian Bupati Bondowoso, Mochammad Rivai, mengizinkan adu sapi. Keuntungan adu sapi, menurut Rivai, selain menggalakkan pariwisata, juga mendorong masuknya nilai tambah kas daerah.
"Kami memungut pajak adu sapi 30%," kata bupati yang bekas Dandim Situbondo itu "Dari situlah kami membangun gedung PMI, stadion adu sapi, dan lain-lain," tambahnya. Bagaimana dengan judi? "Ah, sedapat mungkin akan dihilangkan, sebab adu sapi itu adalah warisan leluhur yang harus dipelihara dari permainan haram itu," katanya. Entahlah, bagaimana niat luhur ini bisa dilaksanakan, bila ternyata justru judinya itulah yang membuat adu sapi tetap hidup. Dan kata Karnadi, Ketua DPRD. "Lha wong sekarang ini apa, sih, yang tak ditotoi orang.
Kendaraan lewat saja nomor platnya dijadikan judi buntut." Ada masanya adu sapi menghilang. Yakni ketika Jacky Mardono (kini Kapolda Kalimantan Timur) menjadi Kepala Kepolisian Wilayah 103 Besuki di Bondowoso. Waktu itu sebendrnya bupati, Kolonel Suwardhi, berkeras agar adu sapi diizinkan. Tapi Jacky tetap tak setuju. Begitu Jacky Mardono dipindah ke Polda Jawa Timur, berkedudukan di Surabaya, adu sapi diselenggarakan kembali. Alasan Jacky sangat bisa dimengerti.
Sebab, setiap diselenggarakan adu sapi, angka kriminalitas di wilayahnya makin meningkat. Terutama pencurian dan perampokan, di kabupaten-kabupaten Bondowoso, Situbondo, Banyuwangi, Jember, dan Lumajan. Memang, tatkala Jacky menjadi Kapolwil itu, angka kriminalitas, terutama pencurian sapi, tinggi. Bila kini menurun, meski adu sapi dihidupkan kembali konon, akibat apa yang dulu disebut petrus penembakan atau pembunuhan misterius. Yang tampaknya tak terhapuskan, pencurian kecil-kecilan, menjelang, sedang, dan setelah adu sapi berlangsung. Mereka yang kalah bertaruh, dan lemah "kode etik"-nya, nekat mencuri.
"Kalau sudah musim adu sapi seperti ini, di siang bolong pun rumah penduduk bisa kebobolan," kata seorang penduduk Desa Kembang, yang mengaku kurang suka pada tontonan ini. "Bagaikan bergilir, malam ini di tempat ini, malam berikutnya rumah di sampingnya kecurian." Tapi yang kecil-kecilan itu untungnya cuma terbatas di kawasan tempat adu sapi diselenggarakan. Tahun lalu, misalnya, menurut Kiai Isma'il, pemimpin pesantren di Desa Kembang, pencurian ayam dan cucian pakaian laksana arisan. Bergilir. "Saya sendiri sempat kehilangan beberapa ekor ayam," tutur Kiai. Waktu itu letak arena adu sapi hanya beberapa ratus meter dari pesantren. Tampaknya, membuat arena tetap mulai tahun ini, ada juga sedikit manfaatnya. * * *
Bila tontonan perkelahian antarsapi biasanya diadakan dari Juni hingga Oktober, saat itulah musim kemarau berlangsung. Yakni ketika para petani baru panen padi dan tembakau. Selain agar tontonan tak terganggu hujan, itulah musim banyak orang pegang uang. Dan bila lebih banyak uang tersedot ke arena adu sapi, dengar saja keluhan seorang pedagang mebel ini, "Di saat musim adu sapi, tak satu unit pun dagangan saya laku. Langganan pada lari ke arena adu sapi." Orang ini bernama Ja'far, seorang pengusaha mebel di Bondowoso.
Beberapa pengusaha rekan Ja'far, di musim ini, banyak beralih ke bidang lain, misalnya menjadi makelar. "Itu lebih baik ketimbang hanya menunggu dagangan yang ada," ujar seorang pedagang kelontong, rekan Ja'far. Yang barangkali omsetnya naik di musim ini adalah perusahaan jawatan (perjan) pegadaian. Menjelang musim adu sapi, perjan di Bondowoso dan Jember, misalnya, mengalami kenaikan omset sampai 30%. Agaknya perawatan intensif sapi memerlukan dana yang lumayan -- umpamanya, itu tadi, jamu sapi mesti ditingkatkan. Hingga pemilik sapi perlu melego segala barang yang ada untuk menutup biaya perawatan itu.
Toh, ada harapan: kelak harga sapi akan naik kalau menang. Senasib dengan pegadaian adalah kios-kios emas di pasar. Di musim ini kesibukan kios meningkat. "Tapi penjualnya kebanyakan lelaki, padahal barang yang dijual perhiasan wanita," tutur seorang pedagang emas di pasar. Juga tak kalah sibuk adalah kantor urusan agama (KUA). Pertengkaran rumah tangga sering terjadi di musim ini. Seorang penjudi adu sapi lekas kalap. Kalau sudah begini, semua isi rumah dilego. "Masih untung suami saya tak mencuri atau merampok. Tapi menghadapi suami yang gila adu sapi seperti ini, lebih baik bercerai," kata ibu empat anak asal Kalisat, Jember. * * *
Adu sapi tampaknya tak bisa dilepaskan dengan cikal-bakal nama Kota Bondowoso - Bondo (= modal) dan woso (= waisya alias sapi). Kota ini konon didirikan oleh seorang kiai keturunan Madura, bernama Ki Ronggo. Syahdan, di awal abad ke-18 Ki Ronggo mendarat di pesisir Besuki (kini masuk Kabupaten Situbondo, di pantai utara hampir ujung timur), diikuti sejumlah santrinya. Dari sana Ronggo melintasi bukit dan ngarai. Sambil membabat hutan, ia melalui lembah-lembah yang sangat curam, yang kini disebut Gunug Arak-arak. Ki Ronggo mengembara hanya bermodalkan sapi jantan. Jagung dan padi yang dibawanya ditaburkan sepanjang jalan.
"Konon, lahan-lahan yang kini subur itulah yang dulu dilewati safari Ki Ronggo," kata Bupati Rivai. Alkisah pun berlanjut. Sesampai di Bondowoso, Ki Ronggo mengumpulkan pengikutnya. Di sebuah tanah lapang yang becek, ia menyuruh santri-santrinya mengeraskan tanah dengan sapi-sapi jantan kepunyaan Kiai. Sambil bersiulan gembira, para santri melaksanakan perintah sambil menghibur diri dengan mengadu sapi. Lahan itu kini jadi alun-alun Kota Bondowoso. Dan adu sapi men jelma jadi tradisi, menjadi tontonan yang mengasyikkan bagi rakyat.
Tak lagi sekadar selingan tatkala para santri bekerja mengeraskan tanah. Inilah cerita yang masih hidup, yang mengisahkan asal mula adu sapi. * * * Bondowoso yang 70% tanahnya terdiri dari pegunungan dan bukit merupakan kota paling kuno setidaknya di kawasan ujung timur Pulau Jawa. Karena kunonya itu, barangkali, Bondowoso telah menyandang julukan sebagai "kota pensiun". Daerah penghasil padi dan tembakau ini, sampai tahun 1900-an masih merupakan wilayah administrasi Besuki. Entah bagaimana, tiba-tiba di zaman revolusi Bondowoso menjadi ibu kota bekas Karesidenan Besuki, membawahkan kota-kota Jember, Situbondo, dan Banyuwangi. Berpenduduk lebih dari 600 ribu jiwa, dengan luas sekitar 1.560 kilometer persegi, kota ini dihuni mayoritas urban dari Madura. Tentu saja, bahasa Madura di kawasan ini sangat dominan. Menurut K.H. Hoesnan Thoha, pemuka masyarakat di Bondowoso, masyarakat Madura tak bisa dilepaskan dari sapi. Begitu pula yang telah bermukim di Bondowoso.
"Sudah lama sapi jadi tolok ukur sosial masyarakat," katanya. Di zaman kolonial, Bondowoso dijadikan Belanda sebagai tempat peristirahatan seperti Malang. Dikisahkan, Ratu Wilhelmina bahkan sempat bertandang ke Bondowoso untuk menyaksikan adu sapi. Menurut penuturan sesepuh Bondowoso yang masih tinggal, di tahun 1920-an itu rombongan Ratu menyaksikan adu sapi yang diselenggarakan rakyat, di tengah alun-alun. Didahului dengan tari pecut yang gemulai, ditarikan oleh gadis-gadis Madura, konon, Ratu begitu terpesona oleh adu sapi.
Menurut saksi mata ketika itu: Wilhelmina sempat tersenyum-senyum sembari, konon, menepuk-nepuk bahu ajudannya karena melihat tingkah sapi yakni yang emoh bertarung, lalu menunggangi lawannya dari belakang. Tapi Ratu pun bisa begitu tegang, setelah menyaksikan pelipis seekor sapi berdarah, karena tulang tanduknya patah. "Waktu dulu itu bumiputra yang menyaksikan hanya boleh dari jarak jauh, dibatasi pagar berduri," kata seorang nenek di Bondowoso. Oh, ya, bagaimana pula nasib Ki Ronggo? Ia tentu saja, kemudian, pada harinya, meninggal.
Kemudian dimakamkan di kota yang didirikannya itu, dan dipuja sebagai cikal-bakal Bondowoso. Sampai kini makamnya dikeramatkan. Menjelang adu sapi, makam ini ramai. Para pemilik sapi mohon restu sang cikal-bakal. Kini terbentuk sebuah yayasan Ki Ronggo. Maklum, anak cucu Ki Ronggo kian banyak, dan banyak pula yang jadi orang, sampai di Jakarta. Atas prakarsa Kapolri, Almarhum Jenderal Polisi Soetjipto Joedodihardjo, yang juga masih keturunan Ki Ronggo, lahirlah Ikatan Keluarga Ki Ronggo. Mengenai adu sapi yang sekarang sudah menjurus ke arena judi, seorang warga ikatan itu berkomentar, "Memang benar Ki Ronggolah pendiri Bondowoso, tapi beliau itu tak mengadu sapi, apalagi menganjurkan orang berjudi," katanya.
Ki Ronggo, konon, selain santri yang taat, juga dikenal sebagai penganut tarekat yang arif bijaksana. * * * Matahari saat itu mulai condong ke barat. Pondokpondok di seputar arena masih ramai penonton. Sepasang demi sepasang sapi maju ke gelanggang. Ramainya penonton sedari pagi hampir tak pernah berhenti. Di celah-celah pondok sekitar arena terlihat anak-anak kecil melotot mengikuti jalannya pertandingan, dengan pakaian pramukanya. "Dan babak berikutnya . . . si Basoka melawan si Gempur ...," kata Ied (pembantu) juri di balik pengeras suara.
Baku hantam, baku hunjam. Saling seruduk. Darah mengucur. Tanduk patah. Ini jadi pemandangan rutin di arena. Kemudian, Allahu Akbar ... azan magrib dari masjid. Adu sapi pun usai. Kehidupan malam datang memulai. Lenguh sapi sesekali terdengar mengiringi sapi-sapi yang pulang kandang. Para penonton yang umumnya mengenakan pakaian seadanya -- kebanyakan berselempang sarung atau celana komprang -- pulang dengan derap langkah yang loyo.
Mungkin kelelahan. Atau menyimpan masygul karena kekalahan. Sapi, yang di India dihormati sebagai dewa, di sini bisa disumpah serapah dan ditendang-tendang jika kalah. Sebaliknya bagi sapi-sapi yang menang, dianggap sebagai pembawa keberuntungan. Disanjunglah secara berlebihan. Bak pengantin yang dielu-elukan. Dan hewan-hewan itu, entah gembira, entah sedih, diadu dengan sesamanya. Memang jarang, tapi bisa saja, seekor sapi menemukan ajal di arena. Sementara itu, tak jelas benar adakah puja sanjung bila ia menang membuat ia bangga, merasa hidupnya sebagai sapi tak sia-sia.
 Mungkin saja si Mawar atau si Pelor masuk koran Jawa Pos. Tapi apa ia bisa membaca?

Sumber akses:http://majalah.tempointeraktif.com/