Warga Mesir berbagai usia turun ke jalan merayakan kemenangan revolusi Mesir pascamundurnya Presiden Hosni Mubarak, Jumat (11/2/2011) malam |
KOMPAS.com — Zine al-Abidine Ben
Ali menguasai Tunisia selama 23 tahun, tetapi sekarang tumbang. Hosni
Mubarak memerintah Mesir selama hampir 30 tahun, teapi sekarang juga
tumbang. Apakah kediktatoran di dunia Arab dan Timur Tengah memang satu
per satu akan rontok? Jika itu yang sedang terjadi, lalu siapa korban
berikutnya?
"Satu-satunya yang ingin saya sampaikan kepada Anda
adalah angin perubahan sedang melanda Timur Tengah," kata Ketua Liga
Arab Amre Moussa, mantan Menteri Luar Negeri Mesir, kepada CNN.
"Bagaimana angin itu akan bergerak serta ke mana arahnya, kapan, dan di
mana, saya tidak dalam posisi untuk menilai sejauh mana itu akan
terjadi. Namun, menurut saya, angin perubahan itu sudah mulai," katanya.
Di
negara tetangga Mesir, Libya, telah muncul di halaman di Facebook
pengumuman tentang demonstrasi damai yang dijadwalkan pada hari Senin.
Moammar Khadafy, yang telah memerintah negara itu selama hampir 40
tahun, beberapa hari lalu masih menegaskan dukungannya terhadap Mubarak.
Di
seberang Laut Merah, ribuan orang telah memprotes Presiden Yaman Ali
Abdullah Saleh, yang telah memerintah Yaman selama 32 tahun. Saleh telah
berjanji tidak maju lagi dalam pemilihan berikutnya saat masa jabatan
yang sekarang ini, dimulai tahun 2006, berakhir tahun 2013. Di Jordania,
Raja Abdullah II telah merombak kabinetnya pada minggu lalu. Minggu ini
ia memasukkan beberapa tokoh oposisi dan media ke dalam kabinet baru
yang dipimpin seorang pensiunan jenderal.
Namun, para pengamat
memperingatkan untuk tidak terlalu berharap banyak pada "angin
perubahan" itu. "Apa kesamaan antara Tunisia dan Mesir? Militer membuat
keputusan untuk tidak melakukan intervensi," kata Jamie Rubin, diplomat
Departemen Luar Negeri Amerika Serikat (AS) pada era Presiden AS Bill
Clinton, sebagaimana dikutip CNN. "Anda lihat Iran dan kita
melihat sejumlah besar orang turun ke jalan beberapa waktu lalu. Namun,
pihak keamanan siap untuk membunuh, menangkap, atau menempatkan mereka
ke dalam penjara. Dan jika pergi ke Suriah, Anda akan melihat rezim
militer yang pada masa lalu bersiap untuk melakukan pembunuhan massal.
Jadi, kita harus membuat perbedaan-perbedaan di sini," tuturnya.
"Mereka
membuat keputusan untuk campur tangan, tetapi tidak dengan kekerasan.
Mereka membuat keputusan untuk membiarkan revolusi terjadi dan tidak
menopang status quo. Keputusan mereka untuk tidak menggunakan
kekuatan terhadap rakyat memungkinkan orang menerobos hambatan rasa
takut," kata Rubin tentang kondisi di Tunisia dan Mesir.
Fouad
Ajami, ilmuwan kelahiran Lebanon dan ahli masalah Timur Tengah,
mengatakan, orang-orang di kawasan itu selama puluhan tahun telah
kehilangan kekaguman dan ketakutan kepada pemerintahnya. "Lihatlah
episode-episode yang ada. Ada sebuah lubang laba-laba. Saddam Hussein
keluar dari lubang laba-laba tahun 2003. Lalu muncul tontonan tentang
pengadilannya," kata Ajami.
"Jadi, saya pikir banyak pemerintah
Arab yang khawatir. Mereka layak khawatir karena mereka memperlakukan
rakyat dengan buruk. Mereka menyiksa rakyat. Mereka menjarah uang. Tidak
ada kontrak sosial di banyak negara itu. Jadi, saya pikir mereka memang
pantas untuk khawatir," ujarnya.
Namun, beberapa dari rezim yang
lebih keras bahkan telah berbicara tentang perubahan dalam terang protes
rakyat yang melanda kawasan itu baru-baru ini. Presiden Aljazair
Abdelaziz Bouteflika, yang telah berkuasa selama 12 tahun terakhir,
misalnya, "dalam waktu dekat" mencabut status negara dalam kondisi
darurat yang telah berjalan selama hampir 20 tahun, menurut laporan
kantor berita negara itu minggu lalu. Langkah ini merupakan satu dari
beberapa hal yang dituntut para demonstran dalam protes baru-baru ini
terhadap pemerintah. Undang-undang itu diterapkan sebagai tindakan keras
terhadap partai politik Islam pada tahun 1992.
Presiden Suriah
Bashar al-Assad mengambil alih kekuasaan tahun 2000 setelah kematian
ayahnya, yang memerintah sejak tahun 1971. Dalam sebuah wawancara yang
diterbitkan minggu lalu di harian The Wall Street Journal, ia
mengatakan bahwa para pemimpin Timur Tengah harus "melihat perlunya
reformasi" sebelum protes seperti yang terjadi di Mesir dan Tunisia
pecah.
Bagaimanapun, yang terpenting dari efek domino di Timur
Tengah dan sebagian Afrika itu adalah tidak ada yang benar-benar yakin
apa yang akan terjadi selanjutnya. Sebelum kepergian Mubarak yang
dramatis dan cepat menyusul Ben Ali, banyak ahli bahkan sangat meragukan
bahwa Mesir akan mengikuti jejak Tunisia.