Talenta 56 | Inspirasi Tanpa Batas

Rabu, 23 Februari 2011

Muhtadi: Golkar & PKS Makin Nakal


Jakarta - Dalam barisan koalisi partai pendukung pemerintah, Golkar dan PKS beberapa kali bermanuver sehingga dicap sebagai anak nakal. Ketika 'membangkang' dalam angket mafia pajak, daftar kenakalan dua partai ini semakin panjang.

"Track record 'pembangkangan' Golkar dan PKS yang dicap sebagai anak nakal semakin panjang. Misalnya saja soal gubernur Yogya dan Century. Statemen Saan Mustopa dan Anas Urbaningrum sangat terang benderang kekecewaannya pada kedua partai ini," ujar pengamat politik Burhanuddin Muhtadi.

Berikut ini wawancara detikcom dengan Manager Public Affairs Lembaga Survei Indonesia (LSI) ini, Rabu (23/2/2011):

Gerindra bergabung dengan barisan Setgab yang menolak angket mafia pajak, indikasi apa?

Gerindra berpikir jangka panjang dengan mendukung Demokrat dalam menjegal rencana angket pajak. Jangka panjang ini merupakan kepentingan Gerindra untuk menarik hati SBY yang di Pemilu 2014 tidak bisa mencalonkan lagi jadi presiden karena kendala konstitusi.

Sejauh ini belum ada kader internal Demokrat yang akan diputuskan dari capres. Dukungan Gerindara untuk menjegal angket pajak merupakan bagian investasi politik Gerindra untuk dapat dukungan SBY dan Demokrat di 2014. Sebab jika mengusung Prabowo sebagai capres tidak bisa andalkan dari Gerindra saja karena tidak sebesar Demokrat.

Di 2014 memang Prabowo belum tentu akan didukung, tetapi setidaknya Prabowo dan Gerindra menunjukkan satu bukti kepada pemilih Demokrat dan fans atau pendukung SBY bahwa Gerindra memberikan jasa. Kalau toh nanti di 2014 Prabowo belum tentu didukung, setidaknya merasa sebagai dewa penyelamat.

Jadi yang dilakukan oleh Gerindra kemarin adalah untuk mengambil dua level. Pertama level elite yakni SBY dan Partai Demokrat. Kedua, level massa yang merupakan pemilih dan pendukung Demokrat.

Bukankah 2014 masih jauh?


Tapi akan termemori. Karena pihak Prabowo sudah melihat kompetitornya adalah Aburizal Bakrie di 2014. Kalau saat angket mafia pajak kemarin Gerindra mendukung Golkar maka sama saja memberikan tiket gratis ke Ical. Daripada apa yang dilakukan Gerindra dimanfatkan Ical, lebih baik melalukan manuver akrobatik.

Mengapa tidak sejak awal Gerindra mengambil sikap menolak?

Sebenarnya dari awal Gerindra juga tidak terlalu aktif dalam mengusulkan. Dia lebih banyak wait and see situasi politik. Ketika ada celah, maka dia ambil momentum. 2-3 Hari sebelum sidang paripurna mulai terindikasi hal ini. Arah Gerindra akan menolak muncul karena pernyataan Prabowo tidak ingin menari dengan genderang pihak lain.

PDIP, Golkar dan PKS kompak di angket mafia pajak, indikasi apa?

Sebelumnya satu suara juga pernah, yakni waktu Century. Yang layak dicurigai adalah ketidakhadiran 10 orang dari PDIP saat paripurna. Ada yang menduga jangan-jangan ini sengaja didesain karena mengikuti fatwa Taufiq Kiemas ( Ketua Dewan Pertimbangan Pusat PDIP).

Kalau 10 orang ini hadir, maka yang menang adalah Golkar, angket mafia pajak tidak akan kandas. Jika ini desain, maka PDIP ingin bermain dua kaki. Jadi di satu sisi, PDIP bisa klaim kepada Demokrat bahwa kemenangan Demokrat dalam menjegal selain faktor Gerindra yang juga menolak, juga faktor 10 orang PDIP yang tidak datang. Nah, kalau kubu Golkar yang menang, maka PDIP bisa mengklaim bahwa 84 orang PDIP yang mendukung kemenangan.

Apa yang dilakukan kedua partai ini mencoreng wajah SBY?

Jelas pembangkangan itu mencoreng muka SBY dan membuktikan Setgab gagal total. Koalisi tambun yang ada hanya pepesan kosong. Ungkapan ini pas sekarang. 6 Partai pendukung pemerintah yang di atas kertas memiliki kekuatan 75,5 persen di DPR malah sering kali ribut. Ibaratnya, dalam suatu perkawinan ada yang mengumbar aib rumah tangga sendiri.

Maka itu, sudah saatnya koalisi ini dikelola ulang. Perlu bongkar pasang untuk mencari formula koalisi yang solid walupun kekuatannya tidak sebesar sebelumnya. Saya rasa 60 persen masih aman.

Apa sebaiknya yang berseberangan ini keluar dari koalisi dan membentuk oposisi?


Hitung-hitungannya, kembali kepada SBY sebagai pemilik hak prerogratif. Track record 'pembangkangan' SBY dan PKS yang dicap sebagai anak nakal semakin panjang. Misalnya saja soal gubernur Yogya dan Century. Statemen Saan Mustopa dan Anas Urbaningrum sangat terang benderang kekecewaannya pada kedua partai ini.

Kalau sudah sangat kecewa, potensi dibuangnya Golkar atau PKS besar kemungkinannya. Karena kekuatan kursi PKS di DPR yang tidak sebesar Golkar, apalagi menteri untuk PKS ada 4 orang, dan ini lebih banyak daripada Golkar, ini membuatnya jadi anak nakal di koalisi. SBY tentu berhitung panjang.

Posisi Golkar dan PKS ditentukan seberapa SBY bisa melunakkan hati PDIP. Kalau PDIP bisa ditarik ke gerbong koalisi, kemungkinan Golkar dan PKS untuk direshuffle besar. Kalau keduanya didepak, risiko bagi Setgab terlalu besar. Karena itu saya rasa kalau mau mengeluarkan salah satu, kemungkinan besar PKS yang potensial diikhlaskan untuk diceraikan.

Kalau Golkar dan PKS masuk dalam rombongan oposisi dengan asumsi Gerindra juga masuk oposisi maka perbandingan oposisi dan pemerintah menjadi 49:51. Nanti legislatif jadi terlalu kuat. Demokrat pasti tengah sibuk mengkalkulasi agar Setgab Partai Koalisi tetap aman.

Gerindra bisa menggantikan PKS di koalisi?


Gerindra itu 5 persen sedangkan PKS 10 persen. Kalau dua-duanya (Golkar dan PKS dibuang), lalu digantikan Gerindra, ini terlalu riskan. Ini harus diperhitungkan dengan matang, dicari formula yang lebih baik, yang tidak riskan, yang menjamin solidas dan loyalitas kebijakan pemerintah. (vit/nrl)