Nurul Hidayati - detikNews
Tripoli - Tak cuma masyarakat internasional, para anak buah Khadafi pun mengecam kekerasan yang dilakukan bosnya itu. Maklum, rezim Khadafi memberangus pendemo dengan mengerahkan pesawat tempur.
Kebijakan yang menewaskan ratusan warga Libya inilah yang membuat para diplomat Libya di luar negeri, termasuk Dubes Libya di Jakarta, menarik dukungan pada Khadafi alias mundur.
Para saksi mata di Tripoli kepada TV Al Jazeera, Selasa (22/2/2011) menyatakan, jet tempur membombardir kota dalam serangan terbaru. Mereka menyebut "tentara bayaran" menembaki warga sipil.
Warga di kawasan Tajura, timur Tripoli, menceritakan, jenazah masih bergelimpangan di jalanan akibat kekerasan yang terjadi hari sebelumnya. "Sedikitnya 61 orang tewas di ibukota pada hari Senin," kata sejumlah saksi.
Protes di negara kaya minyak di Afrika Utara menentang kekuasan Khadafi selama 41 tahun itu, mulai terjadi pada 14 Februari, namun menemukan momentum setelah pemerintah memberangus secara brutal aksi demo "Hari Kemarahan" pada 17 Februari.
Para pendemo menyatakan, mereka telah menguasai sejumlah kota penting termasuk Benghazi, yang berhari-hari terjadi bentrokan berdarah antara pendemo dan aparat pemerintah. Benghazi merupakan kota kedua di Libya setelah Tripoli.
Dalam aksi hari Senin (21/2), pemerintah Libya mencoba menghalangi pawai pendemo dengan mengerahkan jet tempur dan peluru tajam.
"Apa yang kami saksikan hari ini sungguh tak terbayangkan. Pesawat tempur dan helikopter tanpa pandang bulu memborbardir satu area ke area lainnya. Banyak, banyak yang tewas," kata saksi Adel Mohamed Saleh dalam siaran langsung.
"Mereka yang bergerak, meskipun di dalam mobil, mereka (aparat) akan memukul kamu," ujarnya.
Ali al-Essawi, yang mundur sebagai Dubes Libya di India, kepada Al Jazeera hari ini juga menyatakan pesawat tempur digunakan untuk membom pengunjuk rasa.
Dia menuturkan, peluru tajam ditembakkan pada pendemo dan orang asing disewa (tentara bayaran) untuk berjuang atas nama pemerintah. Essawi menyebut kekerasan itu sebagai "pembantaian" dan menyerukan PBB memblokade angkasa Libya untuk melindungi rakyat.
Sementara itu, perintah agar menembaki rakyat dengan jet tempur membuat dua pilot Mirage F1 kabur ke Malta. Mereka menolak menembaki teman-teman mereka sendiri. Salah satu dari pilot itu meminta suaka politik di negeri pulau di Mediteria ini.
(nrl/nvt|http://www.detiknews.com/)
Kebijakan yang menewaskan ratusan warga Libya inilah yang membuat para diplomat Libya di luar negeri, termasuk Dubes Libya di Jakarta, menarik dukungan pada Khadafi alias mundur.
Para saksi mata di Tripoli kepada TV Al Jazeera, Selasa (22/2/2011) menyatakan, jet tempur membombardir kota dalam serangan terbaru. Mereka menyebut "tentara bayaran" menembaki warga sipil.
Warga di kawasan Tajura, timur Tripoli, menceritakan, jenazah masih bergelimpangan di jalanan akibat kekerasan yang terjadi hari sebelumnya. "Sedikitnya 61 orang tewas di ibukota pada hari Senin," kata sejumlah saksi.
Protes di negara kaya minyak di Afrika Utara menentang kekuasan Khadafi selama 41 tahun itu, mulai terjadi pada 14 Februari, namun menemukan momentum setelah pemerintah memberangus secara brutal aksi demo "Hari Kemarahan" pada 17 Februari.
Para pendemo menyatakan, mereka telah menguasai sejumlah kota penting termasuk Benghazi, yang berhari-hari terjadi bentrokan berdarah antara pendemo dan aparat pemerintah. Benghazi merupakan kota kedua di Libya setelah Tripoli.
Dalam aksi hari Senin (21/2), pemerintah Libya mencoba menghalangi pawai pendemo dengan mengerahkan jet tempur dan peluru tajam.
"Apa yang kami saksikan hari ini sungguh tak terbayangkan. Pesawat tempur dan helikopter tanpa pandang bulu memborbardir satu area ke area lainnya. Banyak, banyak yang tewas," kata saksi Adel Mohamed Saleh dalam siaran langsung.
"Mereka yang bergerak, meskipun di dalam mobil, mereka (aparat) akan memukul kamu," ujarnya.
Ali al-Essawi, yang mundur sebagai Dubes Libya di India, kepada Al Jazeera hari ini juga menyatakan pesawat tempur digunakan untuk membom pengunjuk rasa.
Dia menuturkan, peluru tajam ditembakkan pada pendemo dan orang asing disewa (tentara bayaran) untuk berjuang atas nama pemerintah. Essawi menyebut kekerasan itu sebagai "pembantaian" dan menyerukan PBB memblokade angkasa Libya untuk melindungi rakyat.
Sementara itu, perintah agar menembaki rakyat dengan jet tempur membuat dua pilot Mirage F1 kabur ke Malta. Mereka menolak menembaki teman-teman mereka sendiri. Salah satu dari pilot itu meminta suaka politik di negeri pulau di Mediteria ini.
(nrl/nvt|http://www.detiknews.com/)